Minggu, 19 Oktober 2008

MEMO KECIL TENTANG SEORANG “ HERLINA “

Boeat : Siapapoen tjang bersedia dengan toeloes mendengar ‘omong kosong’ ini

Dimanapoen dia berada

Ketika aku menggoreskan pena ini tadinya di atas selembar kertas bekas, namun karena tuntutan keseragaman akhirnya aku muntahkan kembali dengan bantuan perangkat yang berbau tehnologi sehingga sedikit menjadi lebih cantik dan rapi. Namun, pada saat aku menorehkannya dengan bantuan faster warna hitam, aku ditemani beberapa batang LA Light Merah, keheningan malam menjelang dini hari, serta jarum jam yang menunjukkan pukul 01.54.

Sebenarnya aku bingung, tidak tahu apa yang ingin kutulis. Karena terlalu banyak peristiwa pahit yang kualami ketimbang peristiwa manisnya. Ibarat kata, andai aku pedagang, aku tidak lagi kebagian stock untuk jualan gula, jadi mau tidak mau aku harus rela dan sabar menjadi penjual jamu/obat. Padahal menurut kebanyakan orang, jamu/obat itu bikin kita sehat. Tapi kebetulan sekali aku tipe orang yang tidak suka minum jamu. Tapi apa boleh buat, memang untuk sementara itu yang saat ini ada di depan mata, jadi … the show must go on. Tapi sepahit apapun itu, alhamdulillah aku tetap bisa melewatinya dengan enjoy mesti setengah meringis.

Enaknya cerita tentang keluarga/asmara/keuangan/karir ya ? Lho…lho..koq jadi seperti horoskop saja. Tapi itulah hidup, tak pernah jauh dari seputar hal itu. Untuk berceritapun terkadang akupun tergantung mood dan tidak tahu/agak susah buat memulai darimana. Berbelit-belit memang. Tapi bagiku, suatu hal yang dipaksakan hasilnya juga tidak akan optimal. Namun, kalaupun tidak dipaksa, kita tak pernah tahu sampai kapan target selesainya. Prinsip, apapun yang kita lakukan harus ada target, entah target mengalir/target titik klimaks.

Semisal aku ingin berkisah tentang latar belakang keluargaku, mungkin dadaku akan semakin sesak nafas saja. Sangat menyakitkan. Intinya sampai saat ini masih sangat sulit bagiku untuk memaafkan perlakuan MAMA padaku. Berdosa memang, dan mungkin sangat durhaka. Tapi itulah yang terjadi padaku saat ini. Me-rewind-nya membuatku cengeng karena aku tipe orang yang gampang banget sedihnya. Jeleknya lagi, dalam keadaan emosi yang meluap-luappun, airmataku pasti meleleh. Alasan lain mengapa aku tidak ingin menguaknya kembali, karena aku tidak ingin langkahku dalam menggapai cinta dan cita yang sejati terhambat hanya gara-gara masa laluku. Biarlah cerita itu menjadi bumbu pelengkap yang sekedar iseng hinggap di alur cerita hidupku.

Cinta oh-oh cinta, cinta itu apa obatnya… eits itu kan senandungnya Sarpakanaka dalam lakon Maaf Maaf Maaf karya Bapak Nano Riantiarno, salah satu seniman besar Indonesia sekaligus bapak bagi Teater Koma. Ngomong-ngomong soal cinta/asmara, aku jadi pengen tertawa, mentertawakan kebodohanku sendiri. Betapa tidak, tak terhitung sudah sakit hatiku karena seonggok kata cinta. Mungkin ada benarnya kata dara dari Cirebon, kalau aku ini orangnya terlampau ‘polos’ sehingga cepat sekali jatuh hati pada pandangan pertama. Padahal menurut astrologi, aku ini tergolong makhluk yang bertipe setia. Tetapi mengapa senjataku itu tidak bisa menjamin kelanggengan hubungan asmaraku. Namun lucunya lagi, aku tidak pernah lama mengalami patah hati/menjomblo istilah gaulnya saat ini. Mungkin agar kebodohan itu tidak berulang untuk kesekian kalinya, aku harus menerapkan sistem seperti halnya naskah drama. Dibaca dulu, cari referensi, dihafal, dihayati baru kemudian dirasakan sejauh mana arah selanjutnya.

Sekarang tentang periuk nasi. Kata teman-temanku di kampung, aku tergolong perempuan super nekat. Berani mengadu nasib di rimba belantara ini sebatang kara. Ufs, terlalu miris kata-kata sebatang karanya. Tapi ketika kakiku menginjak rimba ini, aku benar-benar sendiri. Belum punya teman satupun, tidak tahu akan tinggal dimana dan sama sekali tidak berbekal koneksi dalam urusan lowongan kerja. Modalnya hanya satu, bonek – bondo nekat. Itu slogan AREMA - SINGO EDAN, nama komunitas di kampungku. Tak terasa hampir 11/2 tahun aku bertahan disini. Tentu, liku-liku cerita pahit, asam, manis turut menghiasi pengembaraanku di belantara ini. Singkat cerita, syukur alhamdulillah patut kupanjatkan karena aku masih dikaruniai rejeki meski pasang surut. Sehingga aku masih dapat menghisap sebatang rokok sampai saat ini dan semoga tak kan pernah putus sampai akhir hayat. Maksudku rejekinya. Ntar kalau rokoknya, bisa-bisa rejekinya buat nombok urusan stetoskop dan rontgen lagi.

Perjalananku di rimba belantara ini masih panjang. Aku masih harus tetap berjuang beriringan antara periuk nasi dan panggilan hatiku dalam berkesenian. Satu hal yang masih bisa membuatku tersenyum bahagia di samping kegalauan hatiku saat ini, kesejukan cinta kasih keluarga baruku, TEATER KOMA, semoga tak kunjung jenuh mensupport pengembaraan si anak yang super nekat ini.

Tepat pukul 03.47 dini hari, kuakhiri goresan konyol ini, seiring pula dengan kandasnya sebungkus tembakau linting mesin dan bermerk yang dengan setia menemaniku sepanjang pena ini menari-nari di atas lembaran kertas yang tadinya sebenarnya kertas bekas yang jadi saksi bisu memo kecilku.

Tebet, 130505

Tidak ada komentar:

TENTANGKU

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Aku adalah perempuan pejalan sepi yang senantiasa damai jika bercanda dengan bintang dan malam hari... Aku adalah aku. Terserah orang menilaiku bagaimana dan siapa aku. Yang penting, Tuhan masih memberiku nafas untuk terus berkarya, so.... LIFE ON ART MUST GO ON...