Minggu, 19 Oktober 2008

Komentarku tentang JakArt@ 2008

SINAR HARAPAN

Senin, 01 September 2008

JakArt@2008
Mengusung Wilayah Imajiner dan Kenyataan di Masyarakat
Jakarta - Ide festival JakArt@2008 sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya selalu menarik.
Festival yang digelar sejak tahun 2001 ini, selain pernah mengisi gang-gang di Kota Jakarta, pada tahun 2003 juga pernah membuat rangkaian sekitar 1 kilometer konvoi pentas keliling Pulau Jawa dan Bali. Festival ini juga pernah berkeliling ke kota-kota di negara lain.
Pada tahun ini, Jakart@2008 juga punya konsep yang unik. Dengan mengusung tema "Dilarang, Dilupakan dan Diabaikan", dengan moto "Realita dimulai saat fantasi berakhir", paradoks antara realitas artifisial yang imajinatif, virtual di dalam kenyataan saat ini sehingga menyulitkan pembedaan wilayah imajiner dan wilayah kenyataan.
Sastrawan dan penyair Radhar Panca Dahana, yang menggagas tematik ini sejak tahun 2005, pernah
mengatakan kepada wartawan bahwa festival memang dirancang untuk mengeksplorasi keterbatasan persepsi.
Ada pembeberan dan promosi kekuatan imajinasi, mengungkap dan menemukan realitas alternatif termasuk mengkritisi kondisi masyarakat di sekitarnya.
Pembina JakArt@2008, Ary Sutedja, menyatakan konsep festival ini adalah menyuguhkan satu bagian spesial, di mana situasi mutakhir kebangsaan kita akan diproyeksikan. Suatu situasi di mana realitas hidup manusia dengan realitas artifisial, imagis, virtual, atau hologramik semakin sulit dibedakan antara yang nyata dan imajiner. Tiga kategori yang menjadi konsep festival rutin untuk tahun ini adalah kategori imaginary festival (festival imajiner), kategori peristiwa nyata yang berlangsung di seluruh Jakarta - konsep rutin festival ini, juga kategori memadukan yang konseptual dan yang nyata.
Festival yang pada 2008 ini menghadirkan ratusan seniman dari puluhan genre dengan nuansa artistik, tradisional hingga kontemporer ini telah menggelar penutupannya. Acara penutupan diadakan di Studio 1 - Kineforum Taman Ismail Marzuki (TIM) 21 dan di Plaza - Taman Parkir Galeri Cipta II TIM, Sabtu (30/8) malam. Di Kineforum selain menghadirkan pemutaran film "Alexandria... New York" karya Yoosef Chahine juga Deklarasi Hak Mutlak Seniman dan Pemikir, sedangkan di Plaza TIM selain deklarasi juga menghadirkan kelompok musik Mahagenta juga Komunitas Seni Tadulako.
Seperti ide JakArt sebelumnya, maka pada JakArt@2008 ini, salah satu aktivis Teater Koma, Herlina Syarifudin, melihat ide festival ini sebenarnya mengena. "Secara konsep menarik, itu bisa dikatakan, menjangkau hingga ke pinggiran, untuk bisa mengapresiasi kesenian yang sebenarnya banyak orang yang tidak bisa mengetahui dan tidak bisa datang," ujarnya.
Lina melihat pergelaran seni yang di kampung-kampung lebih terasa manfaat dan sasarannya. Dia menyebut pentas tari di Jakarta Barat yang dilakukan oleh Okti yang diselipkan di antara momen HUT Kemerdekaan RI. Di luar pernyataan Lina, pementasan Lab Teater Syahid yang bekerja sama dengan Kontras dan JakArt@2008 pun cukup dinikmati oleh publik akademis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
"Aku senang dengan pandangan polos masyarakat di sana tentang seni kontemporer. Yang aku lihat mereka bukan tertarik pada performance-nya, tapi karena gerakan yang menurut mereka buat tertawa. Padahal, gerak tari yang ditawarkan Okti kan berawal dari konsep psikis. Walau beda cara menerimanya tetap dianggap sebagai pertunjukan. Jadi, berlapis-lapis, penonton menafsirnya benar-benar polos, padahal itu gerakan yang benar-benar konseptual. Bagi publik itu hiburan yang mengasyikkan dan suatu hal yang baru," paparnya.
Di Kota Jakarta, citraan dan distorsi iklan, billboard, peradaban internet dan media elektronik termasuk percepatan kehidupan, memang telah mendistorsi kenyataan. Namun, di ibu kota dari negara dunia ketiga yang terus berkembang pesat ini, ada berbagai segmen masyarakat yang berbeda. Konsep JakArt@2008 ini memang memberikan konsep yang tendensius: wacana kesenian dan juga wacana intelektual - konsep virtual dan kenyataan.
Wacana ini juga yang belum tentu sampai, bahkan di kantor kedutaan besar. Konsep virtual dan kenyataan lewat medium seni belum tentu sampai bila hanya diterima di staf, karyawan atau satpam kantor kedutaan besar. Akhirnya, responsnya pun bermacam-macam, ada yang tak boleh masuk, ada yang membaca teks dengan jarak beberapa puluh meter di depan kantor kedutaan besar. Namun, yang mendapatkan respons positif adalah di kedutaan besar Polandia.
Deklarasi yang digelar dan dimulai di Sunda Kelapa (21/8) dibawa keliling mulai dari kedutaan besar dengan menghadirkan 11 tokoh yang cukup unik mulai dari Socrates, Soekarno hingga Jengis Khan. Yang memainkan tak semuanya aktor teater, selain memainkan peran tokoh besar juga membawa tugas deklarasi juga statement kesenian berupa teks yang dibagikan. Dengan mobil, para tokoh imajiner itu mendapatkan tugas ke kantor kedutaan besar ada yang ke broadcast, kantor DPR, MPR dan ke MA.
Bila di Istana Negara, tokoh imajiner ini membawa teks dan hanya bisa masuk ke teras, siapa yang nonton, hanya Pasbampres. Yang lain hanya sebatas hiburan karena yang menonton hanya satpam. Malah naskah dan teks yang dibawa oleh tokoh imajiner Marilyn Monroe (diperankan oleh Ina Kaka yang juga aktor Teater Koma) ke gedung MA. Naskah sempat dibawa masuk oleh sekuriti kemudian staf MA. Lalu sekuriti pun kembali dan bertanya: "Ini berbau politis atau nggak?"
"Jadi di lembaga itu memang dibaca, tapi ketika mereka keluar, malah bertanya ini berbau politis atau nggak. Tokoh Marlyn Monroe," ujar Ina. Ketimbang politik, seni memang terkadang suatu hal yang kadang sulit diterima.
(sihar ramses simatupang)

Tidak ada komentar:

TENTANGKU

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Aku adalah perempuan pejalan sepi yang senantiasa damai jika bercanda dengan bintang dan malam hari... Aku adalah aku. Terserah orang menilaiku bagaimana dan siapa aku. Yang penting, Tuhan masih memberiku nafas untuk terus berkarya, so.... LIFE ON ART MUST GO ON...