Rabu, 04 Juli 2012

GARUDAKU MENANGIS SENDIRI

by Herlina Syarifudin Sayup tiup hembus maha angin yang mendesir di relung pori-pori Seakan menusuk tajam raut kalbu nan sepi dan henyak ini Sekian langkah yang telah berlalu, terseok, tersandung, terpeleset dan hanya sesaat langkah yang terasa ringan bagai lepas dari belenggu yang bertubi-tubi. Bagai makan buah simalakama, mengikuti arus serasa sesak, melawan aruspun serasa mual. Apalah daya ini, meski terombang-ambing tuk harus menahan kepakan ataupun sesaat kemudian terkatub, ....... tak ada beda. Aku hanyalah salah satu dari sekian fauna khas khatulistiwa yang mendapat penghormatan tuk terpilih sebagai maskot yang mendampingi sang merah putih. Beberapa dasa warsa ke belakang, ketika sang merah putih masih berkibar cemerlang, Kepakankupun tak kalah bersaing gagah perkasa. Tapi saat ini, perlahan-lahan diriku merasa usang, tak berdaya dan tak bernyali. Tiada yang tahu, mataku kini sembab, hanya karena air mata yang hari demi hari selalu menetes..... ada atau tanpa sebab. Seakan air mata ini ingin mencoba berteriak, menjerit, melolong, mengaum, berkicau.... Sampai secarik kebesaranku luntur dan hampir terlepas dari cengkeramanku. Tapi karena sebuah moralitas, entah itu abstrak/semu, aku tetap mengemban tugas mulia ini, walau terengah dan tertatih. Sebongkah jeritan ini semoga sempat terdengar meski sayup-sayup. Rasa sesalku saat ini .... Jangan kambing hitamkan keadilan.... Sah saja dan sunah, jika kita turut serasa pilu dan nestapa dengan saudara kita yang saat ini sedang terjebak kabut tebal amunisi... Tetapi kalaupun itu hanya sekedar penghias halaman depan....akan makruh jadinya. Tidakkah kita coba tuk berkaca, bahwa diri kitapun masih kacau balau baik pikir dan daya. Tidakkah kita merasa, bahwa saudara kita sendiri yang teramat sangat dekat dengan kita, tak terhitung layaknya dapat membuka ruang kalbu kemanusiaan kita. Tidakkah kita sadar, bahwa diri kita sendiri sedang hancur dan hampir luluh lantak. Yang haq dan yang batil hanya sebatas kepingan uang logam. Berkoar tentang perdamaian di luar sana, sedang kita sendiri takut atau bahkan berusaha menutupi kemaluan terhadap perdamaian zamrud khatulistiwa. Apa yang sebenarnya ingin kita dapat dari semua tontonan kemunafikan ini ? Air mata inipun takkan pernah mampu menjadi jawaban dari jeritan yang mungkin tak terdengar pula. (Pada saat lucu2nya belajar bikin puisi, tahun 1999 di Sanggar Teater Cikal STIEKN Janega Mlg)

SELAMAT MALAM DUKA

Kembali merah putih tertunduk pilu Airmata bercecer tak tentu arah Darah menggenang hingga mengering bisu Nyawa demi nyawa tergeletak Yang masih bernafas pun limbung cari mencari Pikir melayang asa lenyap seketika Gulita hati, senyap rasa Gusti Kang Moho Agung Saat bisikan-Mu tak terdengar Kini Kau berteriak Ini hak-Mu Karena Kau adalah penulis sekaligus sutradara dari panggung-Mu ini Dan kita semua hanyalah aktor-Mu yang hanya bisa ikhlas dan pasrah menghadapi alur cerita-Mu Malang, 2 Oktober 2009, 2.55 am

TENTANGKU

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Aku adalah perempuan pejalan sepi yang senantiasa damai jika bercanda dengan bintang dan malam hari... Aku adalah aku. Terserah orang menilaiku bagaimana dan siapa aku. Yang penting, Tuhan masih memberiku nafas untuk terus berkarya, so.... LIFE ON ART MUST GO ON...