HERLINA SYARIFUDIN
art worker
Rabu, 04 Juli 2012
GARUDAKU MENANGIS SENDIRI
by Herlina Syarifudin
Sayup tiup hembus maha angin yang mendesir di relung pori-pori
Seakan menusuk tajam raut kalbu nan sepi dan henyak ini
Sekian langkah yang telah berlalu, terseok, tersandung, terpeleset dan hanya sesaat langkah yang terasa ringan bagai lepas dari belenggu yang bertubi-tubi.
Bagai makan buah simalakama, mengikuti arus serasa sesak, melawan aruspun serasa mual.
Apalah daya ini, meski terombang-ambing tuk harus menahan kepakan ataupun sesaat kemudian terkatub, ....... tak ada beda.
Aku hanyalah salah satu dari sekian fauna khas khatulistiwa yang mendapat penghormatan tuk terpilih sebagai maskot yang mendampingi sang merah putih.
Beberapa dasa warsa ke belakang, ketika sang merah putih masih berkibar cemerlang,
Kepakankupun tak kalah bersaing gagah perkasa.
Tapi saat ini, perlahan-lahan diriku merasa usang, tak berdaya dan tak bernyali.
Tiada yang tahu, mataku kini sembab, hanya karena air mata yang hari demi hari selalu menetes..... ada atau tanpa sebab.
Seakan air mata ini ingin mencoba berteriak, menjerit, melolong, mengaum, berkicau....
Sampai secarik kebesaranku luntur dan hampir terlepas dari cengkeramanku.
Tapi karena sebuah moralitas, entah itu abstrak/semu, aku tetap mengemban tugas mulia ini, walau terengah dan tertatih.
Sebongkah jeritan ini semoga sempat terdengar meski sayup-sayup.
Rasa sesalku saat ini ....
Jangan kambing hitamkan keadilan....
Sah saja dan sunah, jika kita turut serasa pilu dan nestapa dengan saudara kita yang saat ini sedang terjebak kabut tebal amunisi...
Tetapi kalaupun itu hanya sekedar penghias halaman depan....akan makruh jadinya.
Tidakkah kita coba tuk berkaca, bahwa diri kitapun masih kacau balau baik pikir dan daya.
Tidakkah kita merasa, bahwa saudara kita sendiri yang teramat sangat dekat dengan kita, tak terhitung layaknya dapat membuka ruang kalbu kemanusiaan kita.
Tidakkah kita sadar, bahwa diri kita sendiri sedang hancur dan hampir luluh lantak.
Yang haq dan yang batil hanya sebatas kepingan uang logam.
Berkoar tentang perdamaian di luar sana, sedang kita sendiri takut atau bahkan berusaha menutupi kemaluan terhadap perdamaian zamrud khatulistiwa.
Apa yang sebenarnya ingin kita dapat dari semua tontonan kemunafikan ini ?
Air mata inipun takkan pernah mampu menjadi jawaban dari jeritan yang mungkin tak terdengar pula.
(Pada saat lucu2nya belajar bikin puisi, tahun 1999 di Sanggar Teater Cikal STIEKN Janega Mlg)
SELAMAT MALAM DUKA
Kembali merah putih tertunduk pilu
Airmata bercecer tak tentu arah
Darah menggenang hingga mengering bisu
Nyawa demi nyawa tergeletak
Yang masih bernafas pun limbung cari mencari
Pikir melayang asa lenyap seketika
Gulita hati, senyap rasa
Gusti Kang Moho Agung
Saat bisikan-Mu tak terdengar
Kini Kau berteriak
Ini hak-Mu
Karena Kau adalah penulis sekaligus sutradara dari panggung-Mu ini
Dan kita semua hanyalah aktor-Mu yang hanya bisa ikhlas dan pasrah menghadapi alur cerita-Mu
Malang, 2 Oktober 2009, 2.55 am
Rabu, 18 November 2009
MONOLOG
TUMBAL DEWI COKEK
Karya HERLINA SYARIFUDIN
SINOPSIS :
Kisah si Romlah, anak penjual minuman di warung remang-remang pinggir rel kereta kawasan Manggarai yang mimpi bertemu dengan seorang penari cokek yang sudah tua. Dalam mimpinya penari tua itu berpesan bahwa Romlah adalah titisan terakhir dari DEWI COKEK yang harus menemani sejumlah 2012 orang tamu dalam kurun waktu 12 bulan untuk mencapai tingkat kesempurnaan sejatinya tari Cokek yang tidak sekedar menari bagus, melainkan memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit syahwat para lelaki dan bisa meramal masa depan. Efek positifnya, lelaki-lelaki yang pernah disembuhkan dengan Dewi Cokek akan kembali mesra bersama istri-istri mereka. Tapi, jika tidak memenuhi target sejumlah 2012, sang leluhur akan meminta tumbal sejumlah 21 wanita malam sebagai hukuman bagi Dewi Cokek. Diantara 21 wanita itu adalah harus termasuk ibu kandung Dewi Cokek. Di sisi lain PAK KYAI MANGGARAI yang sejak lama tidak setuju dengan adanya warung remang-remang itu, berkali-kali mengancam akan menggusur kawasan ini. Dalam pandangan pak Kyai, tari Cokek itu tetap negatif walaupun itu akar lokal Indonesia. Akankah Dewi Cokek sanggup mencapai target 2012 orang tamu? Akankah usaha pak Kyai Manggarai membuahkan hasil?
NASKAH :
(Menyanyi)
Pamedaring wasitaning ati
Cumantoko aniru pujonggo
Dahat mudho ing batine
Nanging kedah ginunggung
Datan wruh yen akeh ngesemi
Angrekso angrumpoko
Boso kang kalantur
Tutur kang katulo-tulo
Tinalaten rinuruh kalawan lirih
Mring padanging sasmita
Di bawah saksi bulan purname dan atas nama para leluhur, lo sape tadi name lo? Walah, kok jadi lupa lagi ye... Haa..., nyang keras dikit nape. Udeh tau telinga nenek-nenek.. Iye...iye...udeh denger... Romlah...Rom..me..lah...iye Romlah. Nenek ulang ye... di bawah saksi bulan purname dan atas name para leluhur, mulai nih malam Romlah adalah titisan dari Dewi Cokek. Eh, sebelum nenek lupa lagi, seharusnya lagunya tadi lagu Betawi, tapi karena ini keinginan Mbah Jambrong, katanya jangan dibeda-bedakan. Jawa Barat kek, Jakarta kek, Jawa Tengah kek, Jawa Timur kek, walang kekek kek...toh kita tetap satu pulau jadi harus kerjasame biar kompak dan kagak gampang diculik.
Dewi Cokek? Sinten niku mbah? Kulo mboten ngertos?
Waduh...ngomong pa ya lo barusan? Nenek kagak ngarti dah. Mbah Jambrong...!! kemane tuh orang ye? Aye butuh penterjemah nih... Eh,Romlah..emang lo kagak bise bahasa Indonesia?
Saged. Tapi punopo sopan menawi kulo ndamel bahasa Indonesia?
Ape? Aduh makin puyeng aye. Mbah...! help...911 nih Mbah....! Seharusnya ini tugasmu Mbah. Nape jadi aye nyang turun...waduh kalo kayak gini caranye, bisa kagak kelar-kelar nih upacaranye..
Ono opo tho? Rame tenan mpok...wis mari urung tugasmu?
Walah, gua manggil elo buat nejermahin, lo malah pake bahasa jawa pula. Pusinglah awak. Dari tadi tuh, gue kendala di bahasa sama ni bocah. Eh, lo malah ikut-ikutan. Udah...sono lo aje nyang nerusin upacaranye... Aye mo jalan-jalan dulu.
Dasar mpok Limeh.... Kenopo to iku mau cah ayu? Sopo jenengmu?
Romlah mbah. Wau niku kulo tanglet sinten Dewi Cokek niku? Nopo’o kulo sing dados titisanipun?
(tersenyum) Bersyukurlah Romlah, tanpa kau sadari, kau ini sebenarnya adalah keturunan terakhir dari keluarga besar Nyi Cokek. Dan karenanya kamu...
Nyi Cokek? Sinten malih niku? Cokek niku nopo sanes asmanipun tarian? Kulo niki mboten saged nari mbah.
Hahaha....itulah ajaibnya. Romlah memang tidak bisa menari. Tapi nanti kamu tidak akan bakal percaya, setelah namamu berubah menjadi Dewi Cokek kau akan dengan lentur menarikan tarian Cokek. Dan tidak hanya itu. Kau juga mendapat anugerah bisa menyembuhkan penyakit syahwat para lelaki yang ingin berobat padamu. Tapi ingat, stelah sembuh, tarikan sebuah tarian yang mempengaruhi mereka agar kembali ke rumah tangganya. Sebagai wanita, kita harus bisa mengambil sikap. Karena kita selama ini selalu berada di sisi yang dirugikan. Betapa sakit hatinya kamu nanti, seandainya suamimu lebih doyan jajan ketimbang kerasan di rumah. Bagaimana Rom..eh Dewi Cokek?
(masih tidak percaya) Dewi Cokek? Aku bisa menari? Rasanya itu cuma mimpi, bunga tidur. Nanti juga kalau sudah bangun, aku tetaplah Romlah. Romlah anak penjual minuman di pinggir rel kereta Manggarai. Pun nopo mbah...,niki ndunyo nyoto. Sanes khayalana. (suara petir, tanpa diduga ada kilatan cahaya menyambar tubuh Romlah. Beberapa detik Romlah sempat kejang dan akhirnya terkulai pingsan)
Selamat datang Dewi Cokek. Tugas Dewi selama dalam masa titisan adalah menemani para tamu sampai mencapai jumlah 2012 orang tamu dalam kurun waktu 1 tahun ke depan. Jika kau telah mencapai jumlah itu, maka kau telah dianggap sempurna menguasai sejatinya tari Cokek dan sebagai pamungkasnya, kau juga mendapat anugerah mempunyai kemampuan menyembuhkan para lelaki yang punya masalah dengan penyakit syahwat dan alat kelamin. Ya, bisa dibilang tabib. Tapi sebaliknya, jika dalam waktu 1 tahun ke depan kau tidak berhasil mendapatkan 2012 orang tamu, maka bencana akan datang di sekitarmu. Karena arwah leluhur pasti meminta tumbal. Dan tumbal yang diminta adalah sejumlah 21 wanita malam, termasuk salah satu diantaranya ibu kandungmu sendiri. Maka dari itu, resapi masak-masak tugas ini dan jangan sampai lengah. Karena kau punya waktu sangat rapat sekali. Aku hanya bisa memantau dari sini saja karena tugas kita cuma sampai disini. Bersyukurlah.... dan jangan kau terkejut, sebangun dirimu nanti, Romlah sudah berganti dengan Dewi Cokek. Ayo...Dewi...bangun. Bangun Dewi Cokek...tugas menantimu. Jangan sampai lewat jam 12 malam. Karena setiap jam 12 malam adalah batas akhir kau bersua dan menemani para tamu. Setelah jam 12, tugasmu adalah meditasi sampai pagi. Karena dengan meditasi, maka keseimbangan ilmu titisan yang kau dapatkan akan tetap stabil. Dan kau semakin piawai dalam menyembuhkan orang. Oh ya, satu lagi, hati-hatilah dengan Kyai Manggarai. Karena dia adalah musuh dalam selimut. Karena dia adalah satu-satunya yang tidak suka dengan keberadaan hiburan tari Cokek di warung remang-remang ini. Kau harus bisa hadapi dia dengan kepala dingin. Beri penyadaran baginya, bahwa tari Cokek adalah akar budaya kita. Kalau dia sampai berusaha ingin melenyapkan, itu sama artinya dengan menghapuskan tari Cokek dari muka bumi Indonesia selamanya. Dan kita akan jadi negara yang gundul, tanpa akar. Musik...!!!
(terdengar musik cokek, dan seperti ada yang membangunkan, Dewi Cokek perlahan demi perlahan terbangun dan mulai bergerak mengikuti irama musik.)
(tergopoh-musik tetap bergema) Ah, sudah jam berapa ini? Aduh sudah hampir jam 12 malam. Dan masih kurang 1 pelanggan lagi targetku untuk hari ini. (mencari-cari tamu) Bang, ngibing yuk bang....dijamin asoy geboy bang. Sini bang, jangan malu-malu. Buat bapak-bapak dan om-om yang punya keluhan pada ehm..si ‘adek’ silahkan malam ini ngibing denganku. Dijamin setelah ngibing, si ‘adek’ kembali normal, tidak bisu lagi. Ayo...ayo...mari...jangan malu-malu. Ngibing plus pengobatan ini saya buka cuma sampai jam12 malam. Lewat jam 12, silahkan antri untuk saya tangani besok.
(dari jauh ada sekelompok orang) Razia...razia....razia !!! Hei, jangan lari kalian. Lari sama dengan pengecut. Ayo, hadapi dan langkahi mayat Kyai Manggarai dulu, kalau kalian ingin tetap bercokol disini. Para aparat disini juga sudah gerah dengan kalian. Maksiat dibungkus dengan tradisi. Betapa kotornya hidup kalian. Bersembunyi di balik keagungan budaya lokal. Cokek bukanlah tarian yang layak untuk dilestarikan. Karena di dalam tarian cokek mengandung unsur syahwat. Dan itu haram hukumnya jika bukan muhrim. Sudah lama aku dengar tentang dirimu hei Dewi Cokek. Praktek yang kau jalani selama ini busuk. Berkedok. Kau pasti punya tujuan yang lebih hina daripada itu. Mana ada lelaki yang sudah terbiasa mangkal disini, terus bisa sembuh setelah menari denganmu? Yang ada malah para lelaki itu jadi ketagihan.
Maaf pak Kyai Manggarai yang terhormat. Anda beragama bukan? Dan bukankah di dalam agama anda diajarkan untuk tidak saling berburuk sangka sebelum tahu yang sebenarnya? Jadi tolonglah,..jangan kau buang energimu dengan sholat sampai nungging-nungging tapi hatimu tak sesuci air wudhu yang menyirami wajahmu. Dan kenapa pula pak Kyai risau dengan keberadaan kita disini? Toh, para aparat tidak ada masalah. Kalau tarian ini berbau seks, sudah pasti para aparat akan membubarkan kita. Karena merekalah yang memantau kita 24 jam disini. Jadi, apa sebenarnya masalah pak Kyai? Apa jangan-jangan waktu masih muda dulu pak Kyai punya trauma dengan penari Cokek? Hahaha...
Hei..! Jaga bicaramu perempuan jalang. Astaghfirullah... berani-beraninya kau bersu’udzon padaku. Laknat bagimu kelelawar malam... Tuhan amat murka dengan dengan umatnya yang gemar berburuk sangka.
Nah, itu pak Kyai sendiri sudah paham. Tapi mengapa bapak seperti tidak mengerti dengan ucapan bapak sendiri? Pak Kyai, Tuhan menciptakan bumi dan langit ini sebagai 2 kutub keseimbangan. Ada senang ada sedih. Ada gelap ada terang. Ada hitam ada putih. Tapi bukan berarti saya menempatkan diri sebagai pihak yang hitam. Mungkin hitam dikacamata sebagian orang. Tapi belum tentu hitam dibalik kacamata orang-orang yang sering kemari. Tujuan saya cuma membantu siapa yang membutuhkan bantuan. Dan itupun sesuai dengan skill saya. Saya juga tidak mengambil lahan pekerjaan orang.
Tapi sadarlah, bahwa pekerjaanmu itu musyrik, syirik. Di balik tarian maksiat itu, kau juga menjalankan profesi yang mendahului kehendak Tuhan. Kau bohongi para lelaki dengan ramalan-ramalan bualanmu. Tak ada itu titisan Dewi Cokek. Itu takhayul. Titisan hanya ada dalam dongeng. Jadi segera sadarlah kau. Siapa dirimu? Segeralah keluar. Keluarlah pada realita bahwa kau adalah Romlah. Anak bude Riwo. Kasihan ibumu. Setiap hari dia merana mencarimu. Dewi Cokek, lepaskan Romlah. Biarkan dia tenang dengan dunianya.
Tidak. Aku adalah Dewi Cokek. Aku membawa misi untuk mempertahankan tari cokek ini agar tetap hidup. Karena nyawa tari Cokek ada di tanganku. Jika aku lalai, maka taruhannya ada 21 nyawa teman-temanku akan melayang, termasuk salah satunya nyawa ibuku. Andai kau ada di posisiku pak Kyai mangagrai yang baik hati lagi budiman. COKEK HARUS TETAP MENYALA DALAM DIRIKU, SAMPAI TITIK NAFASKU YANG PENGHABISAN. Dan ku berdoa bagi orang-orang yang menganggap tarian ini adalah tarian maksiat, semoga dosanya diampuni olehNya. (adzan subuh) Sepertinya Tuhan telah berlaku adil pada kita, pak Kyai. Silahkan bapak tunaikan ibadah sholat subuh. Masih ada hari esok, jika Tuhan mengijinkan kita untuk bersua.
(geram) Lihat saja nanti. Kali ini kau selamat. Tapi, Tuhan tidak tidur. Dan aku tidak akan putus asa untuk mengusir kalian dari tempat ini. Astaghfirullah... Saya sholat dulu. Asalamu’alaikum.
(tertawa geli-hela nafas-teriak) TUGASKU BELUM SELESAI. TAK ADA YANG BISA MENGHALANGIKU. AKU, DEWI COKEK. SIAPAPUN YANG BERANI PADAKU, SILAHKAN TANGGUNG SENDIRI RESIKONYA.
(terdengar suara memanggil-manggil) Romlah...dimana kamu nak? Mak lelah mencarimu nak. Kenapa kau tiba-tiba menghilang tanpa kabar? Mak tidak ingin mendengar berita tragis. Mak yakin, kau masih hidup dan sehat wal’afiat nak. Mak dapat merasakannya. Dan Mak merasa dirimu saat ini ada di dekat Mak nak. Tapi dimana kau bersembunyi? Keluarlah Romlah... Mak kangen padamu nak. Romlah...Romlah....
(seperti suara petir-tiba-tiba ada secercah cahaya menyambar tubuh Dewi Cokek, dan Dewi cokek kejang sebentar lalu pingsan) Romlah....kamu darimana tadi nak? Bangun Romlah...Romlah...kenapa kamu tiba-tiba pingsan nak? (wajahnya diusap dengan air) Brrrrr....dingin...ih emak. Kan Romlah jadi kaget. Mak, Kyai Manggarai sudah pulang ya? Mana teman-teman yang lain? Koq sepi mak?
Kyai Manggarai siapa nak? Teman-temanmu ya dah pada pulang ke kost. Kan sudah pagi. Mak pernah dengar sih nama Kyai Manggarai. Tapi bukankah Kyai itu kalau tidak salah sudah meninggal2 tahun yang lalu? Memang sih, Kyai itu terkenal sekali disini. Karena pak Kyai itu orangnya pantang menyerah untuk menggusur kawasan ini. Beliau sangat tidak suka melihat pemandangan seperti ini. Tapi emak dan kawan-kawan selalu bisa melawan dan akhirnya sampai sekarang masih bisa menempati. Ngomong-ngomong, kenapa kamu berpakaian seperti ini? Ini kan baju penari cokek.
Lho, emak tau darimana? Berarti emak kenal dengan Dewi Cokek?
Legenda Dewi Cokek. Tragis sekali kalo ingat kisah itu. Padahal dulu tempat ini ramai sekali karena tiap malam ada tarian cokek, ada yang bisa penyembuhan, atau minta diramal masa depannya. Makanya dulu penghasilan mak tiap malam sangat menjanjikan. Tapi semenjak Dewi Cokek lenyap, lambat laun tempat ini berangsur sepi. Dan setiap hari aktifitasnya cuma ngobrol saja. Tidak lagi ada tarian seperti dulu. Padahal mak lebih suka suasana yang dulu.
Mak ingin suasana yang dulu kembali lagi? Aku bisa bantu. Mak pasti kaget. Coba lihat. Musik..! (Romlah menari ikuti irama musik cokek) diikuti para tamu dan wanita malam lainnya.
Gilas....
Gilaslah aku....
Aku cuma seonggok akar yang mudah tercabut atau mudah tertelan tanah kembali
Aku hanya ingin bertahan hidup
Aku tak ingin menyeberang melintas rel
Aku hanya ingin berjalan beriringan di sepanjang rel tanpa saling mengganggu
Kita sama-sama berjalan di jalan kita masing-masing
Dan akan tetap ada
Sampai roda waktu yang akan mengikisku dengan alami
AKU DEWI COKEK
TUMBALKU ADALAH DIRIKU SENDIRI
Jakarta, 18 November 2009
Senin, 09 November 2009
Naskah monolog "NAMAKU SKIZO"
NASKAH MONOLOG
“NAMAKU SKIZO”
SINOPSIS
Ibu kandungku yang ‘mungkin’ bisa jadi seorang skizofrenia
membuat misteri dalam perjalanan hidupku dengan jalan
mengganti namaku setiap 10 tahun sekali.
Terlahir ke dunia, ku diberi nama NEU.
Menjelang usia 10 tahun, namaku berubah menjadi OPAT.
Beranjak di usia 20 tahun menjadi DOMASO.
Di 30 tahun berganti BISION.
Kemudian pada saat 40 tahun ku dipanggil CLAUS.
Pada saat ku berusia 50 tahun, ibu meninggal dunia dan
meninggalkan sepucuk surat padaku yang inti isinya adalah
nama baru yang akan kusandang sampai akhir hayatku.
Dan nama itu adalah SKIZO.
“Selamat datang….selamat datang di dunia yang paling tenang dibanding dunia di luar sana. Mari silahkan duduk di tempat yang menurut anda paling nyaman. Jangan takut pada kami, karena kami sama dengan anda. Kami juga masih punya hati nurani. Karena kalau tidak punya, tak mungkin kami menawarkan tempat duduk untuk anda. Saya yakin pasti dalam hati anda semua bertanya-tanya dan berasumsi bahwa ini adalah settingan atau bagian dari skenario. Anda keliru. Karena kami sendiri tidak paham apa itu setting apalagi skenario. Kami hidup apa adanya. Tak ada akting. Bagi kami, ketika akting terjadi maka dunia akan hancur. Topeng akan merebak dimana-mana. Dan saya yakin saat inipun anda anda sekalian juga memakai topeng. Tapi kami, pantang bertopeng. Karena topeng membuat kami menjadi seperti ini. Dulu, terlalu banyak topeng yang kami pakai. Tapi ternyata tidak ada satupun topeng yang melekat persis dan rapi di wajah kami. Saking seringnya kami berganti-ganti topeng, sampai akhirnya topeng-topeng itu melukai wajah asli kami. Topeng-topeng itu telah merusak wajah asli kami. Kini, kami sendiri lupa bagaimana wajah asli kami pada saat itu, sebelum kami mengenal topeng. Dan betapa sulitnya kami mencari-cari kembali kemana perginya wajah asli kami. Seperti halnya jika kita terluka. Tak kan mungkin bisa sembuh 100% seperti sebelum terluka. Pasti masih ada bekas. Kalaupun ingin sembuh total, butuh biaya yang tak terkira. Dan ketika biaya itu terluapkan habis-habisan, memang benar luka lama bisa sembuh 100%, tapi akan muncul luka baru, stress karena sudah habis-habisan keluar biaya. Dan akan begitu seterusnya. Lingkaran setan. Saya yakin, anda sendiri juga tidak tahu apakah sekarang anda berwajah asli atau sedang memakai topeng. Tapi saya yakin, ketika nanti saya tanya, anda tak mungkin menjawab jujur. Itulah manusia di luar sana . Ketidakjujuran beredar dimana-mana seperti virus. Tidak seperti kami disini. Kami tidak bisa membedakan mana jujur dan mana tidak jujur. Bagi kami, semua teman-teman disini jujur. Karena itu kami tenang disini. Bisa jadi kenapa kami bisa masuk kesini karena waktu kami masih di luar sana , kami banyak melakukan ketidakjujuran. Walaupun ketidakjujuran itu tidak merugikan kepentingan umum. Tapi malah merugikan diri kita sendiri. Ketidakjujuran itu akhirnya menjadi penyakit bagi kami. Tapi saat ini kamipun tidak paham apakah ketidakjujuran itu sudah lepas dari diri kami ataukah masih mengakar kuat. Hanya Yang Membuat kita Bisa Bernafas hingga kini yang tahu jawabnya. Karena Dia Maha Jujur. Masih tak percaya? Silahkan tanyakan sendiri padaNya. Karena aku sendiri tak pernah bertanya padaNya. Karena ku sendiri tak tahu bagaimana cara bertanya padaNya. Karena ku sendiri tak pernah bertemu denganNya. Karena ku sendiri tak tahu dimana Dia berada. Karena ku sendiri tak tahu bagaimana sosokNya. Karena ku sendiri tak pernah mendengar tapak kakiNya apalagi suaraNya. Kalaupun pernah, mungkin pada saat aku lagi terlelap. Dan kalaupun benar-benar terdengar, mungkin cuma sebatas sayup-sayup saja. Mungkin juga itu cuma hayalanku saja. Karena bisa jadi itu cuma suaraku sendiri. Yach, ku berdialog dengan suaraku sendiri. Ku bertanya, dan ku jawab sendiri.
Mak....nyapo sampeyan koyok ngene nang aku? Yen aku ra mbok pengeni lair, opo’o ra biyen-biyen aku mbok pateni mak...tinimbang sampeyan akhire ra nggedhekne aku. Mesakke simbah. Saben dino nunggoki aku nang rumah sakit. Lah, sampeyan dhewe nandi mak? Mulai ceprot aku lair sampe gerang ngene, ra tau aku ngrasakke banyu susumu mak... Yen ditakoni wong-wong, mosok yo aku ngomong anake simbah? Tapi simbah dhewe ra pengen aku ketemu sampeyan mak. Simbah dhewe wis loro ati marang sampeyan mak. Menurut cerita simbah, kelahiranku itu jadi bahan taruhan paman dan kakek dari pihak emak. Mereka ingin anak pertama harus laki-laki. Jika bukan laki-laki, mereka tidak mau mengakui sebagai ponakan ataupun cucu. Kok yo becik tenan nyowoku dipadhake dadu. Murah tenan aku iki yo? Luwih murah soko regane gedhang sak curung. Tapi kalau bapakku sendiri orangnya pasrah. Laki perempuan, sama saja yang penting selamat dan sehat. Apa ini berpengaruh dengan yang namanya marga atau farm? Kutemukan surat kelahiranku yang ternyata fotocopian juga. NEU. Hanya itukah namaku? Hanya 3 huruf saja? Betapa pelitnya orangtuaku memberi nama. Yang jelas kutahu, sejak lahir aku sudah diasuh sama simbah. Waktu usia 5 bulan aku sempat dirawat di rumah sakit karena sakit panas tinggi. Tangan dan kakiku diikat disamping tempat tidur. Karena kalau tidak diikat, jari-jari tanganku bakal berdarah karena aku gigit-gigit terus. Tiap malam yang menjagaku cuma simbah. Emakku jarang datang. Mungkin memang benar, karena kalah taruhan, jadi aku dianggap ‘tiada’ oleh mereka. Lantas, kemana bapakku? Ternyata bapakku sudah pergi bersama wanita lain. Beruntung aku masih punya simbah dari bapak. Aku sadar, karena sakit hati simbahku kepada emak, akupun jadi ikutan benci sama emak. Kalau sudah seperti ini siapa yang berdosa dan siapa yang durhaka? Aku sendiri tak ingin temukan jawabnya. Berkali pula kucoba tanamkan rasa sayang pada emakku, tapi selalu saja ada tolakan dalam batinku. Aku tidak tahu, hati dan otakku sudah diracuni apa sama simbah, sampai aku tak mau mengakui kalau dia adalah emakku. Prinsip simbah, wong tuwomu kae yo sing nggedhekno kowe, nyekolahno, ngewei mangan kowe. Nglairno iku gampang. Wong nggawene penak kok. Akeh ibu ra nggenah nang ndunyo iki. Procot kerono kebobolan trus isin karo tonggo, dibuak. Suk, nggawe neh. Pernah suatu kali aku ingin main ke emak yang rumahnya cuma saling berpunggungan tembok dengan rumah simbah, tapi simbah melarang. Simbah bilang, nyaopo awakmu dolan rono, sing ono paling yo ora direken. Ah, ya sudahlah. Kasihan simbah. Biarkan beliau tenang di alamnya. Samar-samar kuingat, aku tinggal bersama emak dengan terpaksa semenjak meninggalnya simbah.
Oh, letih sekali aku hari ini. Tak bergairah. Rasanya jenuh sekali. Teman-teman..kalian jenuh tidak hari ini? Kenapa aku malas sekali hari ini ya? Hari apa sekarang? Ah, bagiku semua hari sama saja. Semua hari menjenuhkan. Semua hari muram dan kelam. Pekat. Tak ada satupun hari yang berarti bagiku. Kenapa aku masih hidup juga sampai sekarang ya? Toh, aku tak berarti apa-apa bagi kehidupan. Aku cuma sampah yang jadi tontonan orang-orang di luar sana. Dan mereka cuma menonton saja. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Menemanipun tidak. Mereka ‘pura-pura’ datang pada saat aku tak butuh ditemani. Tapi mereka pergi pada saat aku butuh mereka. Alangkah membosankan hidupku.
Ssttt, sepertinya aku dipanggil. Tuh, kalian dengar kan? Ya..ya, aku disini. Sebentar..., nanti aku kesitu. Biasa, sahabatku si Opat, tak akan tenang kalau sehari saja tak curhat padaku. Yach, aku ini bisa dibilang tempat sampah. Tapi aku sendiri bingung, kemana aku harus mencari tempat sampah yang lain kalau aku ingin curhat. Karena sahabatku itu egois. Hanya mau didengar, tapi tidak mau mendengar. Payah dia. Ups, nanti dia sewot lagi, ketahuan aku omongin. (merespon suara) Ya..sebentar. Kalian mau aku kenalkan dengan Opat? Kebetulan sekali hari ini dia merayakan ulang tahunnya yang ke-17. Ayo kita kesana, kita hibur dia. (pindah lokasi)
(Sebuah ruangan yang beratmosfir kebencian pada seorang ibu. Tampak sebuah manekin perempuan yang sudah hancur. Ada pula kertas-kertas yang bertuliskan AKU BENCI EMAK! EMAKKU BUKAN IBUKU! MATI SAJA KAU, MAK! Opat mengamuk seperti orang kesetanan. Membakar tulisan. Menyayat boneka.)
Lah, kok malah masih mimpi. Opat, bangun nak. Teman-temanmu sudah datang. Jangan terkejut, karena hal ini sudah biasa terjadi. Setelah dia bangun, semua akan kembali normal. Sejak meninggalnya simbah, Opat lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan dia. Aku terlalu menuruti ego saudara-saudaraku. Aku ingin Opat bisa sayang padaku. Aku sengaja mengganti namanya, karena aku tak ingin mengingat kembali masa laluku saat aku melahirkan dia. Tapi Opat tetap tak mau terima. Happy birthday to you...happy birthday to you...Ayo sayang, tiup lilinnya. Opaaatttt!!! Selamat ulang tahun ya nak. Tepuk tangan donk. Sekarang kau potong kuenya. Nih, pisaunya. Ayo Opat. Kenapa bengong? Cepat kau potong kue itu. Teman-temanmu tak sabar tuk mencicipi kue tart ini. Atau pisau ini yang akan menjadikanmu kue itu Opat.
(membaca tulisan diatas kue tart sambil masih terkantuk) SELAMAT ULTAH OPAT. Opat lagi? Mak, aku Neu, bukan Opat. Siapa Opat mak? Ini tahun ke-7 aku harus merayakan ulang tahun dengan nama Opat. Simbah tidak kenal Opat mak. Simbah hanya tau Neu. Aku tak mau simbah nanti bingung mencariku mak. (mengambil pisau dari tangan emak kemudian mulai mencacah kue tart) Neu, dimana kamu? Mengapa kau pergi tinggalkan aku tanpa pamit? Emak, kau kemanakan Neu? Aku ingin Neu kembali. (terkejut) Apa yang sudah kulakukan? Kue ini hancur oleh tanganku sendiri?
(tertawa puas) Bagus Opat...bagus. Kau telah berhasil menghancurkan masa lalumu. Lupakan simbah. Simbah sudah tiada. Yang ada kini adalah emak. Emak yang menyayangimu. Kini emak ingin kau telan habis masa lalumu itu. Jangan sampai ada yang tersisa. Ayo Opat...cepat...sebelum masa lalu itu bangkit kembali. Lumat habis masa lalumu Opat. Emak tidak ingin mendengar kata simbah lagi meluncur dari mulutmu Opat.
(seperti terhipnotis kata-kata Emaknya, Opat melumat habis kue tart yang telah hancur itu seperti kuda lumping yang melakukan ritual makan pecahan kaca. Dan Opat jatuh pingsan. )
Ah, ternyata nama Opat tak lagi tepat disandangnya. Usia 20 tahun adalah usia kedewasaan bagi Opat. Saatnya Opat melihat dunia yang sebenarnya. Aku ingin Opat juga merasakan sakit hatiku dikhianati oleh kaum lelaki. (emak berpikir) Ya...DOMASO. Sepertinya nama itu terdengar indah di telinga. Semoga nama ini membuat Opat menjadi sosok yang baru, sosok yang bisa mewakili kebencianku pada lelaki. Kau harus berbakti pada emak, Domaso. Apapun kata emak, kau harus turuti, kalau kau tak ingin masuk neraka nantinya.
Hai cowok...boleh kenalan? Namaku Domaso. Aku seorang penari. Dan kau? Caso, mengingatkanku pada nama pelukis dunia. Oh, ternyata kau seorang pelukis juga. Sebuah paduan yang cantik. Penari dan pelukis. Ku ingin menari diatas kanvasmu, dan kau buat lukisan di atas tubuhku. Tertantang? Tapi aku ingin kau tarik kuasmu dengan garang. Aku benci kelembutan yang verbal. Kelembutan verbal membuatku menjadi makhluk yang lemah. Aku tak pernah puas ketika harus menari dengan kostum yang cantik. Tapi aku akan puas ketika menari dengan kostum yang mengikat kuat tubuhku sehingga ruang gerakku menjadi sempit. Dan aku akan merasakan kesakitan itu sebagai keindahan bagiku. Keras, brutal dan ganas adalah kelembutan yang memuaskanku. Kenapa kau diam? Kau takut? Atau jijik?
Sepertinya Tuhan telah mempertemukan kita. Aku juga bukan seorang pelukis yang gemar melukis obyek yang tenang dan sejuk. Nanti kau akan lihat lukisan-lukisanku. Obyek lukisanku rata-rata berwarna merah. Dan seringkali aku melukis dengan darah asli. Entah darahku sendiri, darah binatang, atau darah manusia lain. Tapi aku tidak membunuh mereka. Aku beli darah itu dari rumah sakit. Terkadang, aku ambil darah tikus atau kucing yang mati di tengah jalan. Jika ingin darah segar, aku nongkrong di pasar daging. Dan aku mulai melukis diantara lalu lalang pembeli dan penjual daging di pasar itu. Kau ingin aku lukis dengan darahku?
Aku tak ingin egois. Aku ingin darahku dan darahmu saling bercanda. Kau sapu kuasmu yang berlumur darahmu ke tubuhku, dan ku akan menari diatas kanvasmu dengan sampurku yang telah basah oleh darahku sendiri. Setelah itu, kita bikin pameran tunggal dari karya kolaborasi yang fantastik ini.
Kau tampak sensual dimataku. Sepertinya aku mulai jatuh cinta padamu.
Tidak! Aku harap kau tarik kembali kalimat itu. Jangan pernah kau jatuh cinta padaku kalau kau ingin selamat. Jangan pernah katakan kalimat menjijikkan itu lagi, kalau kau masih ingin menjalani hari-harimu sebagai pelukis. Kau tahu, tak ada kehidupan lelaki dalam kamusku. Lelaki telah merusak kehidupan emakku dan aku. Lelaki telah membuat simbahku meninggal. Biarlah hubungan kita mengalir indah sebagai makhluk yang kosong, tanpa identitas lelaki atau perempuan. Hubungan yang hanya sebatas kepuasan dalam berkarya. Karena karya itulah belahan jiwaku. Bukan jenis kelamin.
Aku pantang menarik kembali ucapanku. Kan kutunggu sampai kau sadar bahwa akulah belahan jiwamu. Aku sudah terbiasa menunggu. Proses yang panjang akan menghasilkan karya yang hidup. Pikirkan ini matang-matang. Aku pergi tapi untuk kembali padamu, jika waktunya tiba. Selamat tinggal....
Sejak kepergian si Casso, Domaso makin garang. Setiap berkenalan dengan lelaki dan lelaki itu mulai jatuh cinta padanya, Domaso lantas meluapkan kebenciannya lewat profesi lelaki yang dikenalnya itu. Pura-pura ia merengek meminta hasil karya dari lelaki yang dikenalnya itu sebagai kenang-kenangan. Karena cintanya pada Domaso yang teramat sangat, tak ada satupun lelaki yang menolak saat diminta apapun yang dia punya. Terkumpullah beberapa karya para lelaki yang telah masuk jeratan cinta pura-pura Domaso. Entah kebetulan, mayoritas Domaso berkenalan dengan para seniman.
Sebentar lagi, riwayat kalian akan tamat di tanganku. Kalian tak kan lagi bisa menjadi pelukis, penulis novel atau cerpen atau puisi, perancang busana, dan pencipta lagu. Aku akan membuat pameran spektakuler untuk menghancurkan karir kalian semua. Kalian layak mendapatkan ini semua. Kenapa juga kalian harus terlahir sebagai lelaki dan bertemu denganku? Andai kalian bukan lelaki...... Emak, permainan berikutnya akan segera kita mulai. Bersiaplah untuk tersenyum. Akan kubalaskan sakit hati emak pada bapak yang entah kemana saat ini. Semoga dia telah mati dan dilumat belatung. Dan juga sakit hatiku sendiri pada paman dan kakek yang tak pernah mengharapkanku. Tradisi emak mengganti nama padaku sepertinya bisa menjadi strategi untuk menghilangkan identitas masa laluku. Aku lelah. Semoga aku temukan nama yang cantik dalam mimpiku.
(mengigau) Bision...Bision...Bision.....!!! (terbangun) Ya mak....sebentar. Sepi sekali. Emak....mak.... Aku beranjak ke meja makan karena lapar. Ada secarik kertas disana. “Mak ke pasar dulu. Di dalam lemari ada nasi goreng kalau kau lapar.” Jadi..., suara siapa tadi? Aha...akhirnya aku temukan juga nama itu. BISION....wow....cukup unik. Terima kasih mimpi. Aku akan mulai bekerja untuk menghancurkan karya-karya itu. Minggu depan genap aku berusia 30 tahun. Dan hari itu akan kujadikan target untuk membuka PAMERAN KELAMKU sekaligus meresmikan nama baruku, BISION. Pameran dari karya-karya para lelaki bodoh itu. Kan ku undang mereka untuk menonton instalasi yang spektakuler. Tak sabar aku membayangkan reaksi konyol dari para lelaki itu setelah memandang karyanya nanti. Karya yang telah bergulat bersama mereka dalam kurun waktu yang panjang. Dan akan hancur hanya dalam hitungan detik.
Walau aku sudah mulai terbiasa dengan nama yang berganti-ganti, di sisi lain mulai terbersit tanya dalam hati, kenapa emak selalu mengganti namaku setiap kali peristiwa hidupku mengalami klimaks di tahun menuju kematangan? Kenapa emak selalu ingin mengubur masa laluku dengan cara mengganti namaku? apakah emak dulu juga sering diganti namanya oleh simbah atau emak sendiri yang mengganti namanya sendiri? Tiap kali ada dorongan hati tuk ingin bertanya, energi sosok garang nan aneh emak kembali menciutkan nyaliku. Dan tanya itu akhirnya hanya mampu kuteriakkan dalam hati. Entah kenapa, emak menutup rapat masa lalunya agar akupun tak boleh tahu. Biarlah itu menjadi misteri emak sendiri bersama Tuhan. Dan akupun sudah mulai terbiasa menjalani kehidupan yang misteri ini bersama emak. Misteri apakah emak benar-benar sudah mencintaiku sebagai anaknya sendiri ataukah cuma sebagai formalitas publik daripada dianggap sebagai orangtua yang tidak bertanggungjawab kepada anaknya? Akupun mulai mencoba untuk mencintai emakku. Tapi tiap kali rasa itu mulai hadir, bayang-bayang kata-kata almarhumah simbah tentang emak langsung membentengi. Ya sudah, akhirnya kukubur kembali saja rasa itu, daripada nantinya aku jadi tambah terpuruk dan energiku terbuang sia-sia karena terbawa arus sedih yang menurutku ya... sudah kadaluarsalah...
(berputar satu lingkaran penanda waktu berjalan) Ouw...sepertinya saudara-saudara sudah tak sabar untuk menyaksikan Pameran Kelamku. Ok, kalau begitu mari kita bersama-sama menuju kesana. (pindah lokasi ke sebuah lorong yang di sepanjangnya terdapat lukisan yang sudah sobek kanvasnya, sebuah buku novel yang halamannya sobek berceceran, buku kumpulan cerpen yang sudah terbakar sebagian, buku antologi puisi yang basah dan hampir hancur, manekin yang berbalut busana lelaki tapi sebagian kainnya terbakar, dan buku kumpulan lirik lagu ciptaan seseorang yang sudah menjadi sobekan-sobekan kecil. Perjalanan para penonton diiringi suara koor dari para pasien yang bunyinya “Mari melangkah menuju cahaya...” Kalimat itu terus diulang-ulang sampai para penonton mengambil posisi yang nyaman. Dan Sibion mulai berpidato.)
(bertanya pada para pasien) Bagaimana teman-teman, apakah para undangan istimewaku sudah hadir semua? Bagus. Baiklah, segera akan saya buka pameran ini. Ok, selamat sore para undangan yang telah bersedia hadir di pembukaan Pameran yang kuberi tajuk Pameran Kelam ini. Terima kasih saya ucapkan spesial kepada para pemilik karya yang telah dengan ikhlas memberikan sebagian dari hasil karyanya sebagai wujud rasa cinta anda kepada seseorang yang bernama Domaso. Kembali lagi untuk yang kesekian kalinya saya tahu, saudara-saudara pasti bertanya kenapa Domaso saya sebut sebagai seseorang yang lain dan bukan saya sendiri. Satu hal penting yang harap anda ketahui adalah bahwa yang berdiri di hadapan anda saat ini bukanlah Domaso. Domaso adalah masa lalu saya yang kelam. Maka dari itu, di hari ulang tahun saya ini, saya ingin mengubur masa lalu itu dengan nama yang baru yakni SIBION. Yach...Sibion. Jadi, jika anda ingin menghujat atau marah atas apa yang telah dilakukan Domaso terhadap karya-karya anda, semua sudah terlambat. Saya, Sibion, hanya mendapat mandat untuk menjalankan wasiat terakhirnya sebelum Domaso terkuburkan. Yakni menggelar Pameran Kelam ini. Satu lagi pesan Domaso, pameran ini akan digelar selama 10 tahun. Jadi tidak boleh ada satupun yang menyentuh karya-karya ini kecuali saya, termasuk ibu saya sekalipun. Jika ada yang berani menyentuh apalagi membongkar, jangan salahkan saya kalau anda tidak akan dapat tidur dengan nyenyak. Sama sekali tak ada maksud menakuti atau meneror kehidupan anda. Karena masing-masing dari kita juga punya kehidupan yang tidak ingin diganggu. Saya paham, pasti dalam benak anda masing-masing saat ini bergejolak kata,”Dasar sakit jiwa ya nih orang...Atau mungkin orang aneh atau apalah itu namanya.” Tapi saya tidak akan peduli dengan gunjingan-gunjingan kalian terhadapku dan juga ibuku. Toh, kami tak pernah mengusik kehidupan pribadi kalian. Kami hanya ingin berbagi suasana. Ada kebahagiaan, pasti ada kesedihan. Ada terang, pasti ada gelap. Itulah bumi dan langit. Saling melengkapi. Kami hanya ingin berbagi rasa sakit. Sakit yang mendalam dan berakar kuat. Mungkin kalian akan berpersepsi pada arti balas dendam. Tapi bagiku, istilah itu terlalu naif. Dan bagi para undangan istimewaku yang karya-karyanya saat ini saya pamerkan, kalau anda ingin melihatku bahagiam relakan karya kalian hancur olehku. Seiring dengan hancurnya harapan kalian untuk meraih cintaku. Biarkan aku selalu tersenyum memandangi karya-karya ini setiap hari. Kehancuran rasa cinta kalian adalah kepuasan batin dan kebahagiaanku. Rasanya sudah terlalu panjang saya berpidato. Casso, Poe, Thoven, Coelho, Girbow dan para undangan yang lain...kupersembahkan rasa kelam ini untuk anda. Seiring hela nafas saya, maka Pameran Kelam ini saya buka.....(hela nafas, gemuruh tepuk tangan). Sekarang, saya persilahkan anda semua untuk menikmati Pameran Kelam ini.
Agh....kepalaku tiba-tiba pening. Mungkin lelah dan terlalu bersemangat. Sementara semalam hanya tidur 2 jam karena menyiapkan pameran ini. Sambil menahan sakit, kupandangi satu persatu wajah para undangan yang sedang menikmati karya-karya yang mungkin menurut kacamata mereka tak ada satupun yang indah. Pandangan kengerian, sadis dan penuh tanya. Sengaja aku tidak ingin memberikan penjelasan apapun kepada mereka. Biarlah mereka bertanya dalam hatinya masing-masing. Dan aku sangat puas menikmati wajah-wajah penuh tanya itu, kalau emak boleh punya misteri masa lalu, kenapa aku tidak? Dan kini saatnya akupun punya misteri itu. Satu persatu para undangan pergi. Suasana di lorong ini semakin kelam saja kurasa. Di tahun-tahun awal sejak pameran ini kubuka, banyak sekali pengunjung yang datang. Ada yang hanya melihat-lihat, ada pula yang menjadikannya sebagai bahan penelitian mereka. Tapi, mereka akhirnya pulang dengan kecewa karena sama sekali tak mendapatkan info apapun dariku. Aku memilih tetap bungkam sambil mentertawakan kesia-siaan mereka.
Tapi, perlahan-lahan setiap kali para pengunjung itu datang, aku merasa lorong ini semakin menyempit saja. Entah kenapa.... Tahun berganti tahun terus melaju dan menginjak di tahun terakhir target pameran ini kugelar, nafasku terasa makin sesak. Karena bagiku lorong ini nampak benar-benar menghimpitku. Semakin sesak kurasa setiap kali kuberjalan melewati karya-karya ini. Karya-karya itu seperti bergerak dan melotot padaku dan seperti hampir mau mencekikku. Pandangan amarah. Padahal setiap hari aku selalu memperhatikan mereka. Setiap hari lorong ini selalu kubersihkan agar instalasi ini tampak tidak usang. Tak kuat dengan fenomena ini, ku berdialog dengan emak. Dan kata emakku, itu tandanya namamu sudah berganti, namun kau tak sadari hal itu. Lantas siapakah nama itu mak? Tiba-tiba mata mak menerawang dan beberapa detik kemudian terucap dari mulutnya...CLAUS.. Claus? Sepertinya semakin indah terdengar dari Sibion. Dan aku tersenyum. Tapi tiba-tiba mendadak senyumku berubah muram. Hati kecilku merasa tidak nyaman dengan nama itu. Aku sendiri tidak tahu, entah mengapa. Tapi emakku orangnya pantang menarik kembali segala ucapan yang telah dia muntahkan. Sebagai baktiku, aku terima nama itu. Semenjak namaku berganti Claus, aku selalu mengalami ketakutan setiap kali hendak masuk ke lorong pameran kelamku. Baru beberapa langkah saja, nafasku terasa sesak. Ada apa ini? Karya-karya itu mendadak menjadi besar melebihi tubuhku. Dan manekin itu, tiba-tiba menjadi sosok kanibal yang hendak melahapku hidup-hidup. Setiap tidur, aku selalu bermimpi masuk ke dalam ruang sempit dan aku tak bisa keluar lagi dari sana, karena tiba-tiba pintunya berubah menjadi tembok. Ku coba menjerit meminta bantuan emakku, tapi emakku hanya tersenyum saja. Tapi aku tak bisa mengumpat pada emakku. Tatapan garang nan anehnya selalu meluluhkan energiku setiap kali aku ingin melawan emak. Hari itu, mimpiku semakin dahsyat. Saat kupejamkan mata, dan beberapa detik kemudian perlahan mataku terbuka, ternyata aku sudah berada di dalam tubuh sebuah manekin. Aku meringkuk seperti bayi. Bangunan kulit manekin itu sungguh kuat. Dan aku tak punya daya untuk keluar. Aku teriak sekencang mungkin. Tapi suaraku kembali lagi padaku. Oh, Tuhan...kenapa emak tega melakukan ini padaku? Kenapa emak tiba-tiba memberiku nama yang membuatku makin tersiksa? Aku merintih, tapi airmataku tak jua mengalir membasahi pipiku. Apakah airmata sudah mulai lelah dan benci padaku? Ku coba panggil masa laluku satu persatu, siapa tahu mereka bisa membantuku. Ku panggil Neu, Opat, Domaso, Sibion..... Tak ada satupun yang menyahut kecuali pantulan suaraku sendiri. Aku lelah untuk menjerit dan mulai kehabisan nafas. Saat aku merasa mulai melayang, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara tangisan. Emak? Tapi suara tangisan itu terasa asing bagiku. Itu bukan tangis emak. Tangis itu kudengar tidak satu orang tapi beberapa. Spontan aku teriak, emaaakk!!! Entah kekuatan darimana, teriakan itu seperti ledakan bom dan menghancurkan manekin yang menyelubungiku. Emak! Emak mana? Kenapa kalian memandangku sinis begitu? Kenapa kalian semua menangis? Ada apa ini? Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang terbujur dan seluruh tubuhnya tertutup kain. Emak? Kubuka perlahan kain itu. Dan......spontan airmataku keluar sejadi-jadinya. Saat itu pula, rasa cintaku kepada emak tiba-tiba hadir.....utuh, tanpa benteng kata-kata almarhumah simbah. Tapi.......emak..... Kenapa kau curang padaku kali ini mak? Biasanya kau selalu menaruh pesan di secarik kertas saat kau hendak pergi kemanapun kau ingin pergi. Tapi sekarang? Kenapa mak? Dimana kau taruh kertas itu? Aku ingin tahu kemana kau hendak pergi saat ini? Seseorang lantas menyodorkan kertas padaku. Gemetar tanganku membuka kertas itu.
“Nak, maafkan emak. Mungkin emak sudah mulai lelah menulis pesan buatmu. Sekarang, sudah saatnya kau terbebas dari kekangan misteri emak.
Sebenarnya emak juga mencintaimu nak.
Tapi emak tidak ingin ungkapkan hal itu sebelum saatnya tiba.
Nah, saat inilah waktu yang tepat.
Sekarang, jika kau ingin merasakan cinta emak abadi di hatimu,
sandanglah nama SKIZO sampai akhir hayatmu nak.
Jika kau berganti nama, kau akan merasakan cinta emak lambat laun pupus.
Tapi jika kau tetap menyandang nama itu, emak akan selalu ada di hatimu nak.
Dan pada saat kau mulai kuat menyandang nama Skizo,
perlahan tapi pasti kau akan temukan jawaban dari misteri emak
yang selama ini kau ingin tanyakan nak.
Selamat tinggal nak......”
Hai...kenapa disini ramai sekali? Siapa kalian? Darimana datangnya kalian? Ada urusan apa kalian datang kesini? Oh...oh..oh...aku tahu. Pasti kalian ingin menyaksikan kepedihan dan kebodohanku. Pasti kalian ingin tahu apa yang telah kuperbuat disini setelah lama ku tak bersua dengan kalian. Ya kan? Akui saja! Apa yang kalian ingin dapatkan dariku...hah?! Puas kalian! Kemana saja kalian selama ini? Kenapa tega kalian tinggalkan aku sendirian disini? Mana hati nurani kalian? Mana arti kebersamaan kita selama ini? Mana arti kesetiakawanan kalian padaku? Kalian semua jahat...bengis...tak punya hati nurani. Kalian tak ubahnya seperti binatang. Dan aku, habis manis sepah dibuang. Setelah tahu aku seperti ini, kalian tinggalkan aku perlahan-lahan. Aku sepi. Sendiri. Kemana kalian? Kemana? Mana? Beraninya kesini ramai-ramai. Kalian ingin mempermalukan aku di depan teman-temanmu yang lain. Kejamnya kalian. Aku benci kalian. Aku benci kalian semua. Aku tak kenal kalian. Aku tak mau kenal kalian lagi. Lagaknya ingin menengok, menjenguk. Untuk apa? Semua telah berlalu. Tak ada yang bisa diulang. Nasi telah basi. Tatapan mata kalian, seolah-olah iba. Munafik! Kenapa baru sekarang kalian datang? Aku tak butuh kalian lagi. Pergi kalian! Pergi! Biarlah aku sendiri dalam kesendirianku. Tak usah berbasa-basi tuk kasihan padaku. Kenapa masih diam saja? Mengerti tidak kalian? Apa perlu aku teriak-teriak biar seluruh orang disini mendengar? Aku bilang, pergi! Masih juga berlagak tuli. Kawan-kawan...bantu aku tuk usir orang-orang ini. Aku tidak butuh mereka lagi. Aku tidak kenal siapa mereka ini. Mereka ini sosok-sosok pengacau ketenangan kita. Ayo kita usir ramai-ramai...ayo...!!! (mengajak para pasien untuk mengusir para penonton)
Eits....tunggu dulu! Jangan usir mereka. Biarlah mereka disini. Bukankah kita butuh mereka? Bukankah mereka adalah teman tuk temani sepi kita? Aku takut sendirian. Aku ingin kalian ada disini. Temaniku. Sudah lama aku tak bercerita. Karena sudah lama aku sendiri. Jadi tak tahu kepada siapa ku ingin bercerita. Terlalu lama kusimpan cerita ini. Entah, apakah masih renyah tuk didengarkan. Karena aku sendiri lupa dimana kusimpan ceritaku. Andai kalian ingin mendengar ceritaku, kan kucari pelan-pelan dimana kusimpan cerita itu. Bagaimana? Maukah kalian mendengarkan ceritaku? Tapi sebelumnya, bantulah aku mencari ceritaku ini. Aku sungguh-sungguh lupa dimana kutaruh cerita ini. Di selipan mana dan kapan terakhir aku menyimpannya. Aku benar-benar tidak ingat lagi. Bantu aku tuk temukan. Tapi aku sendiri tak tahu harus darimana mulai mencarinya. Adakah saran? Ayolah, jangan diam saja. Kalian kenapa jadi seperti patung begini. Aku jadi seperti orang sakit jiwa yang ngomong sendirian tanpa lawan. Tega ya kalian menonton kegilaanku sendirian. Kalian kira, diamnya kalian tidak sakit jiwa. Jangan salah. Dalam diam, terpendam berjuta masalah. Hanya karena kalian malu saja tuk mengungkapkan. Tapi aku bisa membaca dari wajah-wajah kalian. Masalah kalian tak lebih sama beratnya dengan masalahku. Tapi karena kalian pandai menyembunyikannya, sehingga aku pun sulit tuk membaca satu persatu. Lagi pula buat apa juga aku pusing-pusing membaca masalah kalian. Toh, tak juga meringankan. Otakku masih lelah tuk berpikir. Otakku tak lagi bisa jalan seperti dulu. Otakku kini tumpul. Karena telah lama kuajak istirahat. Otakku telah lama kutidurkan. Atau mungkin otakku sedang asyik bermain-main entah kemana. Dan aku tak kuasa mengejarnya. Fisikku sudah tak kuat lagi. Aku biarkan dia bermain sesuka hatinya. Biarlah dia bebas. Karena telah lama dia tak temukan kebebasan. Dulu otakku tersiksa. Aku kasihan padanya. Mungkin saja dia sekarang sedang bercanda dengan hatiku. Yach...hatikupun dulu pernah sakit. Tak mampu kucarikan obat. Sampai akhirnya terlanjur. Aku menyesal karena tak bisa obati hatiku. Kini dia tak utuh lagi. Kini hatiku telah cacat. Mungkin sudah bopeng. Tak lagi halus. Aku tak mampu hibur hatiku lagi. Dia sudah lama terpuruk. Dan tak mau bangkit lagi. Setiap kali kucoba bangkitkan, dia lari menjauhiku. Seakan aku ini momok yang patut dijauhi. Momok yang patut disingkirkan dari muka bumi ini. Berat nian jika ku harus mengkorek kembali kisah lama itu. Kisah yang membuatku tinggal disini. Di rumah tenang ini. Panjang sekali jalanan dan liku yang harus kulalui tuk menguak kembali kisah itu. Dan aku sendiri mungkin sudah lupa harus melewati jalan yang mana dulu. Nanti jika aku tersesat di tengah jalan, apa kalian mau memanggilku kembali atau sekedar melemparkan kompas untukku? Andaipun kompas itu sudah di tanganku, mungkin aku juga sudah tak paham lagi mana utara dan mana selatan. Bagiku semua arah sama saja. Arah yang menyesatkan. Aku telah lama tersesat pada arahku sendiri.
Ssst....sepertinya ada yang memanggil... Emak.....emak....sepertinya suara emak tuh. Ya, mak....aku disini. Sebentar lagi aku kesitu..... Ayo, siapa mau ikut aku....???
Jakarta, 3 November 2009
SERPIHAN MONOLOG DI LP ANAK PRIA TANGERANG
SERPIHAN MONOLOG
DI LP ANAK PRIA TANGERANG
Adil…..
Keadilan…..
Ratu Adil….
Adakah Tuhanku di ruang gelap ini?
Bagiku...
Di luar dan di sini, sama saja
Apakah aku telah mati rasa?
Keadilan…..
Ratu Adil….
Adakah Tuhanku di ruang gelap ini?
Bagiku...
Di luar dan di sini, sama saja
Apakah aku telah mati rasa?
Kisah ini bermula pada saat aku mengikuti Festival Monolog Ruang Publik yang diselenggarakan oleh Federasi Teater Indonesia di bulan Agustus kemarin dalam rangkaian acara JAk@rt 2008. Konsep monolog yang membebaskan kita untuk bereksplorasi di area publik. Sekitar 20 peserta saling beradu akting, menunjukkan kemampuan keaktoran masing-masing. Ada yang bermain di stasiun Senen, pangkalan ojeg pasar Palmerah, Taman Menteng, depan kantor Kompas, panti asuhan dan mall. Awalnya ada 4 alternatif tempat yang cukup menggelitik hatiku. Panti jompo, Rumah Sakit Jiwa, Rumah Singgah Anak-anak Jalanan, dan LP (Lembaga Pemasyarakatan). Entah mengapa, tiba-tiba suara hatiku jatuh kepada LP. Sebuah tantangan lokasi yang ‘menyeramkan’ dalam pandangan masyarakat awam. Bagiku, dimanapun tempat yang masih berhubungan dengan orang banyak, tetap sah statusnya sebagai ruang publik. Lokasinya tidak harus di kawasan luar yang tanpa batasan apapun. Di balik tembok yang tinggi pun, tetaplah ruang publik. Karena di balik tembok itu, masih terjadi aktifitas yang berhubungan dengan sosial masyarakat. Mereka yang tinggal di balik jeruji besi juga ingin mendapatkan penyegaran dari dunia luar. Mereka tetap sama dengan kita, sama-sama derajatnya sebagai makhluk Tuhan. Belum tentu juga kejahatan dan pelanggaran yang telah mereka lakukan lebih buruk dari yang di luar. Tanpa kita sadari, di luar masih banyak berkeliaran calon-calon penghuni ‘prodeo gratis’ yang kejahatannya lebih parah. Tapi, mungkin karena kelihaian mereka, sehingga masih bisa lolos dan tetap bisa menghirup udara kebebasan.
Festival Monolog Ruang Publik ini berlangsung selama seminggu dari tanggal 22 – 28 Agustus 2008. Dan aku mendapat jadwal dari panitia di tanggal 26 Agustus 2008. Tak ada persiapan khusus yang aku lakukan, mengingat kesibukanku di bulan Agustus yang cukup menyita waktu dan energi. Kesibukan di seputar dunia seni teater, karena memang teater adalah dunia bagiku. Di teater, aku banyak belajar tentang hidup dan kehidupan. Karena itulah, mengapa aku lebih memilih LP. Sebuah lokasi yang menuntut tantangan keaktoran lebih daripada hanya sekedar berpentas di sebuah gedung pertunjukan. Mengapa? Karena jika berpentas di gedung pertunjukan, sasaran penontonnya jelas dan paham aturan yang berlaku di dalam gedung pertunjukan. Sedangkan di LP, aku berhadapan dengan orang-orang yang mayoritas awam akan dunia teater. Secara psikologi, aku dituntut untuk beradaptasi, berkomunikasi dengan hati-hati karena tingkat sensitifitas mereka cukup tinggi, menyelami arah pikiran dan hati mereka, menempatkan diri kita sebagai bagian dari mereka, membuat mereka nyaman terhadap kita, tidak membikin jarak dengan mereka, menjadi teman dekat bagi mereka, tidak menjadikan mereka sebagai obyek penelitian untuk sebuah kepentingan, dan yang paling penting secara persuasif sedikit demi sedikit memberikan pemahaman kepada mereka bahwa kehidupan di dalam LP dan di luar LP itu sama saja, tiada beda. Sama-sama bisa berbuat untuk menuju ke arah yang lebih baik . Hal yang tidak mudah. Mengingat telah banyak trauma yang pernah mereka alami. Trauma dari sejak penangkapan sampai dengan penjeblosan ke dalam LP. Sebuah peristiwa yang akan sangat melekat seumur hidup di benak mereka.
Dari sekian LP yang ada di Jakarta, jatuhlah pilihanku kepada LP Anak Pria Tangerang. Alasan memilih LP Anak dan bukan LP Dewasa adalah lebih kepada proses pembelajaran bagi mereka. Perjalanan mereka yang masih panjang untuk meraih cita dan cinta, butuh support moriil dari siapapun yang punya kepedulian kepada mereka. Kalaupun bukan LP Anak Wanita, karena di LP Anak Wanita, di tanggal yang sama ada jadwal konseling dari LSM PKBI (Persatuan Keluarga Berencana Indonesia). Di LP Anak Pria Tangerang, dari jumlah 250 anak (sungguh sebuah angka kriminal dini yang cukup mengejutkan), kurang lebih 100 anak dikerahkan untuk menonton monologku. Dari 100 anak itu, kuambil sekitar 20 anak yang kebetulan punya minat di teater dan musik untuk berkolaborasi denganku. Dalam benakku, tiada lagi terbesit tujuan untuk berkompetisi dalam ajang festival monolog ini. Nuraniku tiba-tiba membelokkan kendali otakku ke arah tujuan yang lebih mulia, yaitu berapresiasi sekaligus menghibur mereka. Mengingat waktu latihan yang kulakukan cuma 1 hari, maka ku coba tuk lebih banyak bercengkerama dengan mereka. Seharian ku asyik ngobrol dengan mereka, dan perlahan-lahan kubuat mereka agar mau curhat kepadaku tentang kepedihan, kesakitan dan kepahitan yang pernah mereka alami selama menjalani masa hukuman, serta harapan dan cita-cita mereka sekeluar dari penjara. Yang membuatku tak kuasa menahan air mata, pada saat mereka menceritakan suka dukanya selama dalam tahanan, tampak raut-raut wajah yang polos, yang tak lagi merasakan beban batin. Mereka menceritakan dengan nada bercanda dan terkesan sebagai sesuatu hal yang sudah biasa bagi mereka, ironis. Ketika ada yang mengungkapkan berapa tahun masa tahanannya, dia ungkapkan dengan senyuman. Terasa sekali bagiku, itu adalah senyuman yang flat. Senyuman yang tidak lagi bisa berkutik. Ada lagi yang malah dengan semangat menceritakan aktitifas yang menurut dia paling penting dari sekian aktifitas harian mereka selama di dalam LP, yaitu menghitung hari. Caranya, bangun tidur langsung mengambil bolpoint dan mencontreng kalender (mengurangi salah satu tanggal yang telah berlalu). Usai aku mendapatkan bahan monolog dari cerita-cerita anak-anak penghuni LP itu, kita mulai latihan adegan. Beberapa anak aku plot untuk bermain musik dari alat-alat apa adanya (ada galon kosong, piring, gelas, bambu, ember, dan kaleng biskuit) dan sisanya sebagai pemain tambahan yang nantinya melakukan gerakan teatrikal. Yang membuatku bangga dan terharu dengan mereka, walau waktu latihan cuma beberapa jam saja, tapi mereka cukup cerdas dan cepat sekali menangkap instruksi yang kuberikan. Malam hari usai latihan, mereka kembali ke sel masing-masing untuk apel malam hari terus kemudian istirahat. Sebagai referensi tambahan untuk bahan permainan monologku, aku berkeliling mengamati aktifitas anak-anak penghuni LP itu menjelang mereka tidur. Usai berkeliling, ku kembali ke aula tuk menuangkannya ke dalam tulisan yang nantinya harus kuhafal. Karena aula di dalam LP ini adalah konsep outdoor, sejenis pendopo, maka aku masih bisa memandang langit malam hari. Pada saat aku menerawang gemerlapnya bintang malam, tiba-tiba hatiku berucap, “Seandainya aku menang nanti, nadzarku, sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada anak-anak LP itu, hadiah nominalnya ingin kucurahkan seluruhnya untuk berbuka puasa bersama mereka sekaligus memberikan workshop keaktoran di siang harinya. Usai hatiku berucap, entah energi apa yang masuk ke dalam tubuhku, seperti kekuatan yang mendorongku tuk lebih dekat dengan mereka.
Pagi harinya, keceriaan dari wajah anak-anak itu membuat spirit bagiku untuk siap bertempur dalam ajang monolog ini. Selama kurang lebih 45 menit monolog yang kuberi judul “BURUNG” itu bergulir dengan lancar. Secara filosofis, aku mengistilahkan anak-anak LP ini adalah burung-burung yang berada di dalam sangkar yang salah. Burung-burung yang suatu saat ingin juga terbang bebas tapi punya arah. Dalam monologku, kubangun banyak suasana. Dari kesedihan sampai kebahagiaan. Usai monolog, para dewan juri festival monolog mengajak sharing sebentar untuk mengevaluasi hasil penampilan monologku secara global. Ternyata para juri cukup terkejut juga dengan keberanianku untuk memilih lokasi LP ini. Keterkejutan itu bertambah pula dengan keasyikanku yang dengan rileks bisa dekat dengan mereka, mengingat aku hanyalah seorang wanita. Ibaratnya seperti seorang perawan di sarang penyamun. Salah satu juri ada yang bilang padaku, pada saat dialogku yang menyentuh rasa kangen terhadap orang tua, ada beberapa anak yang posisi nontonnya di belakang juri, sempat merintih kecil. Dialog kecil yang sempat tertangkap oleh juri dari anak-anak itu kurang lebihnya begini,”Aduh kak, jangan diingatkan tentang orang tua dong. Aku gak kuat mendengarnya.” Mendengar itu, tak sepatah katapun mampu kuucapkan. Kelar sharing dengan para juri, gantian aku yang share bersama 20 anak yang kuajak berkolaborasi dalam monologku. Kurang lebih 1 jam aku ngobrol dengan mereka, dan menjelang aku pulang ternyata mereka masih merasa berat untuk kutinggalkan. Namun karena aku masih ada jadwal lagi di tempat lain, mereka akhirnya maklum juga.
Tiba saat pengumuman pemenang Festival Monolog Ruang Publik digelar di Galeri Nasional Jakarta. Ternyata nadzarku terkabulkan. Gembira bercampur haru, akhirnya aku masih diberi kesempatan untuk bersua dengan anak-anak di LP Anak Pria Tangerang. Minggu kedua di bulan Ramadhan, aku melaksanakan nadzarku itu. Kegembiraan benar-benar terpancar di wajah mereka melihat kehadiranku kembali. Workshop keaktoran sekaligus pemutaran video hasil pertunjukan monolog kulaksanakan di salah satu ruang bimbingan di LP Anak Pria Tangerang. Tak terasa, adzan maghrib berkumandang. Walaupun ada beberapa anak yang tidak puasa, namun tak mengurangi suasana kebersamaan yang bergulir saat itu. Ada satu kejadian yang menggelikan sekaligus mengharukan bagiku pada saat acara berlangsungnya moment buka puasa bersama. Aku memiliki kebiasaan membatalkan puasa cukup dengan minuman manis dan makan takjil saja. Sedangkan waktu untuk makan menu yang berat (nasi dan lauk pauknya) biasanya baru jam 8 atau 9 malam. Saking asyiknya aku ngobrol dengan para penjaga yang mendapat giliran piket malam di LP, aku tidak sadar ternyata ada beberapa anak yang menunggu aku untuk memulai makan nasi kotak yang kusediakan untuk mereka. Sambil ngobrol, kuperhatikan satu persatu dari mereka. Giliran anak-anak yang nasi kotaknya masih tertutup, lantas aku bertanya, “Mengapa kalian tidak segera berbuka?” Dengan polos mereka menjawab, “Kami menunggu kakak.” Sontak aku terkejut dan mataku mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan, ternyata mereka tidak seliar dugaan orang. Mereka juga masih punya sopan santun dalam bertindak. Balasku, “Tak perlu kalian menunggu kakak, karena kakak tak biasa langsung makan yang berat-berat. 2 jam lagi kakak baru bisa makan makanan yang berat. Sudahlah, mulailah kalian berbuka.” Dengan senyum polos, mereka kompak menganggukkan kepala sambil membuka nasi kotak masing-masing. Akhirnya aku menemani mereka makan sambil ngobrol. Ternyata ada beberapa dari mereka yang masa tahanannya usai menjelang Idul Fitri. Sedangkan beberapa anak yang masih harus menunggu beberapa tahun lagi, menginginkan agar aku membuat jadwal intens paling tidak seminggu sekali untuk melanjutkan pelatihan seputar seni teater bagi mereka. Semua keinginan itu aku tampung, karena toh mereka juga belum paham bahwa untuk bisa melakukan aktifitas bagi orang luar di dalam LP itu tidak semudah membalik telapak tangan. Karena kita masih harus berhadapan dengan prosedur birokrasi LP agar program ini benar-benar bisa terlaksana. Pertanggungjawaban moral yang cukup berat juga untuk sebuah perjuangan sosial. Tiba giliran mereka apel malam, aku pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang, ku-rewind peristiwa yang telah kualami bersama anak-anak di LP Anak Pria Tangerang itu. Sebuah peristiwa hidup yang sangat berharga. Tak terasa air mataku bergulir membasahi pipiku. Aku merasa, perjalanan ruang publikku di LP Anak Pria Tangerang ini adalah sebuah awal. Masih banyak ruang publik di balik tembok-tembok yang lain yang menggelitikku untuk kembali berbuat dan berbagi dengan mereka. Setidaknya lewat jalur kesenian yang aku bisa, yaitu seni teater.
“ Sungguh kepuasan batin yang tak terkira ketika kita masih diberi kesempatan
tuk bisa berbagi kepada sesama. Nominal tak lagi menjadi patokan.
Namun keikhlasan dan ketulusan serta membuat mereka masih bisa tersenyum
dan tertawa bahagia sejenak di balik beban penderitaan mereka,
adalah sesuatu yang tak terukur nilainya....”
Jakarta, 24 November 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
TENTANGKU
- Herlina Syarifudin
- Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
- Aku adalah perempuan pejalan sepi yang senantiasa damai jika bercanda dengan bintang dan malam hari... Aku adalah aku. Terserah orang menilaiku bagaimana dan siapa aku. Yang penting, Tuhan masih memberiku nafas untuk terus berkarya, so.... LIFE ON ART MUST GO ON...