Senin, 09 November 2009

SERPIHAN MONOLOG DI LP ANAK PRIA TANGERANG


SERPIHAN MONOLOG
DI LP ANAK PRIA TANGERANG

Adil…..

Keadilan…..

Ratu Adil….

Adakah Tuhanku di ruang gelap ini?

Bagiku...

Di luar dan di sini, sama saja

Apakah aku telah mati rasa?


Kisah ini bermula pada saat aku mengikuti Festival Monolog Ruang Publik yang diselenggarakan oleh Federasi Teater Indonesia di bulan Agustus kemarin dalam rangkaian acara JAk@rt 2008. Konsep monolog yang membebaskan kita untuk bereksplorasi di area publik. Sekitar 20 peserta saling beradu akting, menunjukkan kemampuan keaktoran masing-masing. Ada yang bermain di stasiun Senen, pangkalan ojeg pasar Palmerah, Taman Menteng, depan kantor Kompas, panti asuhan dan mall. Awalnya ada 4 alternatif tempat yang cukup menggelitik hatiku. Panti jompo, Rumah Sakit Jiwa, Rumah Singgah Anak-anak Jalanan, dan LP (Lembaga Pemasyarakatan). Entah mengapa, tiba-tiba suara hatiku jatuh kepada LP. Sebuah tantangan lokasi yang ‘menyeramkan’ dalam pandangan masyarakat awam. Bagiku, dimanapun tempat yang masih berhubungan dengan orang banyak, tetap sah statusnya sebagai ruang publik. Lokasinya tidak harus di kawasan luar yang tanpa batasan apapun. Di balik tembok yang tinggi pun, tetaplah ruang publik. Karena di balik tembok itu, masih terjadi aktifitas yang berhubungan dengan sosial masyarakat. Mereka yang tinggal di balik jeruji besi juga ingin mendapatkan penyegaran dari dunia luar. Mereka tetap sama dengan kita, sama-sama derajatnya sebagai makhluk Tuhan. Belum tentu juga kejahatan dan pelanggaran yang telah mereka lakukan lebih buruk dari yang di luar. Tanpa kita sadari, di luar masih banyak berkeliaran calon-calon penghuni ‘prodeo gratis’ yang kejahatannya lebih parah. Tapi, mungkin karena kelihaian mereka, sehingga masih bisa lolos dan tetap bisa menghirup udara kebebasan.
Festival Monolog Ruang Publik ini berlangsung selama seminggu dari tanggal 22 – 28 Agustus 2008. Dan aku mendapat jadwal dari panitia di tanggal 26 Agustus 2008. Tak ada persiapan khusus yang aku lakukan, mengingat kesibukanku di bulan Agustus yang cukup menyita waktu dan energi. Kesibukan di seputar dunia seni teater, karena memang teater adalah dunia bagiku. Di teater, aku banyak belajar tentang hidup dan kehidupan. Karena itulah, mengapa aku lebih memilih LP. Sebuah lokasi yang menuntut tantangan keaktoran lebih daripada hanya sekedar berpentas di sebuah gedung pertunjukan. Mengapa? Karena jika berpentas di gedung pertunjukan, sasaran penontonnya jelas dan paham aturan yang berlaku di dalam gedung pertunjukan. Sedangkan di LP, aku berhadapan dengan orang-orang yang mayoritas awam akan dunia teater. Secara psikologi, aku dituntut untuk beradaptasi, berkomunikasi dengan hati-hati karena tingkat sensitifitas mereka cukup tinggi, menyelami arah pikiran dan hati mereka, menempatkan diri kita sebagai bagian dari mereka, membuat mereka nyaman terhadap kita, tidak membikin jarak dengan mereka, menjadi teman dekat bagi mereka, tidak menjadikan mereka sebagai obyek penelitian untuk sebuah kepentingan, dan yang paling penting secara persuasif sedikit demi sedikit memberikan pemahaman kepada mereka bahwa kehidupan di dalam LP dan di luar LP itu sama saja, tiada beda. Sama-sama bisa berbuat untuk menuju ke arah yang lebih baik . Hal yang tidak mudah. Mengingat telah banyak trauma yang pernah mereka alami. Trauma dari sejak penangkapan sampai dengan penjeblosan ke dalam LP. Sebuah peristiwa yang akan sangat melekat seumur hidup di benak mereka.
            Dari sekian LP yang ada di Jakarta, jatuhlah pilihanku kepada LP Anak Pria Tangerang. Alasan memilih LP Anak dan bukan LP Dewasa adalah lebih kepada proses pembelajaran bagi mereka. Perjalanan mereka yang masih panjang untuk meraih cita dan cinta, butuh support moriil dari siapapun yang punya kepedulian  kepada mereka. Kalaupun bukan LP Anak Wanita, karena di LP Anak Wanita, di tanggal yang sama ada jadwal konseling dari LSM PKBI (Persatuan Keluarga Berencana Indonesia). Di LP Anak Pria Tangerang, dari jumlah 250 anak (sungguh sebuah angka kriminal dini yang cukup mengejutkan), kurang lebih 100 anak dikerahkan untuk menonton monologku. Dari 100 anak itu, kuambil sekitar 20 anak yang kebetulan punya minat di teater dan musik untuk berkolaborasi denganku. Dalam benakku, tiada lagi terbesit tujuan untuk berkompetisi dalam ajang festival monolog ini. Nuraniku tiba-tiba membelokkan kendali otakku ke arah tujuan yang lebih mulia, yaitu berapresiasi sekaligus menghibur mereka. Mengingat waktu latihan yang kulakukan cuma 1 hari, maka ku coba tuk lebih banyak bercengkerama dengan mereka. Seharian ku asyik ngobrol dengan mereka, dan perlahan-lahan kubuat mereka agar mau curhat kepadaku tentang kepedihan, kesakitan dan kepahitan yang pernah mereka alami selama menjalani masa hukuman, serta harapan dan cita-cita mereka sekeluar dari penjara. Yang membuatku tak kuasa menahan air mata, pada saat mereka menceritakan suka dukanya selama dalam tahanan, tampak raut-raut wajah yang polos, yang tak lagi merasakan beban batin. Mereka menceritakan dengan nada bercanda dan terkesan sebagai sesuatu hal yang sudah biasa bagi mereka, ironis. Ketika ada yang mengungkapkan berapa tahun masa tahanannya, dia ungkapkan dengan senyuman. Terasa sekali bagiku, itu adalah senyuman yang flat. Senyuman yang tidak lagi bisa berkutik. Ada lagi yang malah dengan semangat menceritakan aktitifas yang menurut dia paling penting dari sekian aktifitas harian mereka selama di dalam LP, yaitu menghitung hari. Caranya, bangun tidur langsung mengambil bolpoint dan mencontreng kalender (mengurangi salah satu tanggal yang telah berlalu). Usai aku mendapatkan bahan monolog dari cerita-cerita anak-anak penghuni LP itu, kita mulai latihan adegan. Beberapa anak aku plot untuk bermain musik dari alat-alat apa adanya (ada galon kosong, piring, gelas, bambu, ember, dan kaleng biskuit) dan sisanya sebagai pemain tambahan yang nantinya melakukan gerakan teatrikal. Yang membuatku bangga dan terharu dengan mereka, walau waktu latihan cuma beberapa jam saja, tapi mereka cukup cerdas dan cepat sekali menangkap instruksi yang kuberikan. Malam hari usai latihan, mereka kembali ke sel masing-masing untuk apel malam hari terus kemudian istirahat. Sebagai referensi tambahan untuk bahan permainan monologku, aku berkeliling mengamati aktifitas anak-anak penghuni LP itu menjelang mereka tidur. Usai berkeliling, ku kembali ke aula tuk menuangkannya ke dalam tulisan yang nantinya harus kuhafal. Karena aula di dalam LP ini adalah konsep outdoor, sejenis pendopo, maka aku masih bisa memandang langit malam hari. Pada saat aku menerawang gemerlapnya bintang malam, tiba-tiba hatiku berucap, “Seandainya aku menang nanti, nadzarku, sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada anak-anak LP itu, hadiah nominalnya ingin kucurahkan seluruhnya untuk berbuka puasa bersama mereka sekaligus memberikan workshop keaktoran di siang harinya. Usai hatiku berucap, entah energi apa yang masuk ke dalam tubuhku, seperti kekuatan yang mendorongku tuk lebih dekat dengan mereka.
Pagi harinya, keceriaan dari wajah anak-anak itu membuat spirit bagiku untuk siap bertempur dalam ajang monolog ini. Selama kurang lebih 45 menit monolog yang kuberi judul “BURUNG” itu bergulir dengan lancar. Secara filosofis, aku mengistilahkan anak-anak LP ini adalah burung-burung yang berada di dalam sangkar yang salah. Burung-burung yang suatu saat ingin juga terbang bebas tapi punya arah. Dalam monologku, kubangun banyak suasana. Dari kesedihan sampai kebahagiaan. Usai monolog, para dewan juri festival monolog mengajak sharing sebentar untuk mengevaluasi hasil penampilan monologku secara global. Ternyata para juri cukup terkejut juga dengan keberanianku untuk memilih lokasi LP ini. Keterkejutan itu bertambah pula dengan keasyikanku yang dengan rileks bisa dekat dengan mereka, mengingat aku hanyalah seorang wanita. Ibaratnya seperti seorang perawan di sarang penyamun. Salah satu juri ada yang bilang padaku, pada saat dialogku yang menyentuh rasa kangen terhadap orang tua, ada beberapa anak yang posisi nontonnya di belakang juri, sempat merintih kecil. Dialog kecil yang sempat tertangkap oleh juri dari anak-anak itu kurang lebihnya begini,”Aduh kak, jangan diingatkan tentang orang tua dong. Aku gak kuat mendengarnya.” Mendengar itu, tak sepatah katapun mampu kuucapkan. Kelar sharing dengan para juri, gantian aku yang share bersama 20 anak yang kuajak berkolaborasi dalam monologku. Kurang lebih 1 jam aku ngobrol dengan mereka, dan menjelang aku pulang ternyata mereka masih merasa berat untuk kutinggalkan. Namun karena aku masih ada jadwal lagi di tempat lain, mereka akhirnya maklum juga.
            Tiba saat pengumuman pemenang Festival Monolog Ruang Publik digelar di Galeri Nasional Jakarta. Ternyata nadzarku terkabulkan. Gembira bercampur haru, akhirnya aku masih diberi kesempatan untuk bersua dengan anak-anak di LP Anak Pria Tangerang. Minggu kedua di bulan Ramadhan, aku melaksanakan nadzarku itu. Kegembiraan benar-benar terpancar di wajah mereka melihat kehadiranku kembali. Workshop keaktoran sekaligus pemutaran video hasil pertunjukan monolog kulaksanakan di salah satu ruang bimbingan di LP Anak Pria Tangerang. Tak terasa, adzan maghrib berkumandang. Walaupun ada beberapa anak yang tidak puasa, namun tak mengurangi suasana kebersamaan yang bergulir saat itu. Ada satu kejadian yang menggelikan sekaligus mengharukan bagiku pada saat acara berlangsungnya moment buka puasa bersama. Aku memiliki kebiasaan membatalkan puasa cukup dengan minuman manis dan makan takjil saja. Sedangkan waktu untuk makan menu yang berat (nasi dan lauk pauknya) biasanya baru jam 8 atau 9 malam. Saking asyiknya aku ngobrol dengan para penjaga yang mendapat giliran piket malam di LP, aku tidak sadar ternyata ada beberapa anak yang menunggu aku untuk memulai makan nasi kotak yang kusediakan untuk mereka. Sambil ngobrol, kuperhatikan satu persatu dari mereka. Giliran anak-anak yang nasi kotaknya masih tertutup, lantas aku bertanya, “Mengapa kalian tidak segera berbuka?” Dengan polos mereka menjawab, “Kami menunggu kakak.” Sontak aku terkejut dan mataku mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan, ternyata mereka tidak seliar dugaan orang. Mereka juga masih punya sopan santun dalam bertindak. Balasku, “Tak perlu kalian menunggu kakak, karena kakak tak biasa langsung makan yang berat-berat. 2 jam lagi kakak baru bisa makan makanan yang berat. Sudahlah, mulailah kalian berbuka.” Dengan senyum polos, mereka kompak menganggukkan kepala sambil membuka nasi kotak masing-masing. Akhirnya aku menemani mereka makan sambil ngobrol. Ternyata ada beberapa dari mereka yang masa tahanannya usai menjelang Idul Fitri. Sedangkan beberapa anak yang masih harus menunggu beberapa tahun lagi, menginginkan agar aku membuat jadwal intens paling tidak seminggu sekali untuk melanjutkan pelatihan seputar seni teater bagi mereka. Semua keinginan itu aku tampung, karena toh mereka juga belum paham bahwa untuk bisa melakukan aktifitas bagi orang luar di dalam LP itu tidak semudah membalik telapak tangan. Karena kita masih harus berhadapan dengan prosedur birokrasi LP agar program ini benar-benar bisa terlaksana. Pertanggungjawaban moral yang cukup berat juga untuk sebuah perjuangan sosial. Tiba giliran mereka apel malam, aku pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang, ku-rewind peristiwa yang telah kualami bersama anak-anak di LP Anak Pria Tangerang itu. Sebuah peristiwa hidup yang sangat berharga. Tak terasa air mataku bergulir membasahi pipiku. Aku merasa, perjalanan ruang publikku di LP Anak Pria Tangerang ini adalah sebuah awal. Masih banyak ruang publik di balik tembok-tembok yang lain yang menggelitikku untuk kembali berbuat dan berbagi dengan mereka. Setidaknya lewat jalur kesenian yang aku bisa, yaitu seni teater.


“ Sungguh kepuasan batin yang tak terkira ketika kita masih diberi kesempatan
tuk bisa berbagi kepada sesama. Nominal tak lagi menjadi patokan.
Namun keikhlasan dan ketulusan serta membuat mereka masih bisa tersenyum
dan tertawa bahagia sejenak di balik beban penderitaan mereka,
adalah sesuatu yang tak terukur nilainya....



Jakarta, 24 November 2008



2 komentar:

Anonim mengatakan...

WoW.....

bener-benr pengalaman yg nerharga bgt...aku yg baca aja takjub

apa yg ku kenal kak lina dulu emang bener2 bikin ku semangat lg

-anis74-

Herlina Syarifudin mengatakan...

Makasih ya say...aku juga kangen dg gank Sentir/Bakiak yang dulu... Ingin waktu kembali ke belakang...walau sebentar.

TENTANGKU

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Aku adalah perempuan pejalan sepi yang senantiasa damai jika bercanda dengan bintang dan malam hari... Aku adalah aku. Terserah orang menilaiku bagaimana dan siapa aku. Yang penting, Tuhan masih memberiku nafas untuk terus berkarya, so.... LIFE ON ART MUST GO ON...